Jumat, 19 Maret 2010
Sorrowful Memory
Ada seorang anak kecil yang berusaha dewasa. Mencari tahu apa makna hidup sesungguhnya, mencari tentang arti menjadi dewasa. Dirinya mencoba bertahan, dalam dirinya telah tertanam bahwa penderitaan adalah bagian dimana ia dapat menjadi dewasa. Tetapi ada hal yang tak bisa dilakukannya, tetap saja ada hal yang tidak dimengerti olehnya, tetap saja ia ingin melarikan diri dari tatapan orang lain yang membuatnya tak nyaman. Tatapan yang membuat dirinya seolah sekecil marmut yang dapat terinjak jika luput dari pandangan.
Dirinya belajar bahwa dunia tidaklah seindah warna pelangi dan tidak semanis es krim strawberi favoritnya. Dirinya terus berusaha tak membuat seorang kecewa, melukai diri sendiri dan menyalahkan dirinya terasa seperti hobi yang semakin menjerumuskannya. Dirinya kecanduan. Kecanduan dengan rasa sakit yang berkelanjutan, yang berputar bagai spiral yang kontradiktif. Menyukai sekaligus membenci. Terkadang ia terduduk diam dalam lumpur hitam, terkadang ia berlari ke segala arah tanpa tujuan yang jelas, dan kadang kala ia memburu seperti tak pernah puas.
Dalam benaknya dunia adalah taman bermain dengan ribuan perangkap didalamnya. Dipenuhi hewan liar yang siap memangsa siapa pun yang lengah dan tak berdaya. Dirinya begitu ketakutan sehingga ia memutuskan untuk tetap setegar karang. Begitu takutnya sehingga ia memakai topeng dibelakang kepalanya dan memasang mata keempat dipunggungnya. Namun, semakin ia berjaga semakin takutlah ia. Si anak kecil berlari, auman rimba memaksanya dewasa sesuai apa yang ada dibenak si anak. Mencabik sang anak hingga robek dagingnya dan mengeluarkan darah tetapi ia terus berlari dalam sakit dan tangisnya.
"Aku ingin dewasa, Aku ingin menjadi kuat agar Aku tak perlu takut dan cemas lagi. Supaya aku dapat hidup tanpa tergantung di pohon yang menaungiku."
Sang anak kecil terdiam. Luka telah menusuk jantungnya dengan sangat parah menyebabkan kerusakan fatal sehingga darah yang masuk ke otak menjadi berkurang. Ia tak mampu berpikir, yang ia lakukan hanya terdampar disudut kota yang ramai. Berharap dapat tidur nyenyak malam ini. Sedikit demi sedikit lukanya membusuk tak terobati, ia bahkan tak merasakan lagi dimanakah luka itu. Pikirannya menjadi kosong. Lelah. Tak mampu terlelap, yang ada hanya memori menakutkan tentang hutan kecil yang menyita pikirannya. Melahap hatinya.
Anak itu berlari. Terus hingga mencapai titik nadir diujung pagi. Dan ia masih tertidur. Dengan cepat matahari menyelimuti tubuhnya, membakar luka yang tak dapat lagi dirasakannya. Luka yang membusuk seiring berjalannya waktu. Dia terjatuh. Tenggelam di dasar danau yang masih bernafaskan hawa dingin. Ia tertekan dalam arus tidal menyesakkan selama beberapa menit lamanya. Namun, berarti seribu tahun baginya sebelum akhirnya ia tiba di tepian meraba-raba dataran dan diam di situ. Terlelap.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar