Rabu, 13 Oktober 2010

Kita...

Satu jam berlalu dan kami masih membisu. Ditemani alunan lagu sang pianis dapat kudengar isak tangismu dan jeritan dari hatiku. Aku tahu apa yang kamu pikirkan, jelas sekali apa yang kau rasakan saat ini, karena wajahmu telah mengatakan semuanya. Aku tak berharap ada sepatah kata yang keluar dari mulutmu kali ini karena semuanya telah engkau ekspresikan. Aku juga tak dapat berkata lebih, aku tak mungkin berkata bijak atau melontarkan lelucon yang selalu menghiburmu. Pasti itu akan lebih menyakitkan disaat seperti ini. Beberapa kali matamu melirik ke arahku. Marah, sedih, kecewa, bingung. Itulah yang tersirat dari raut wajahmu saat ini.

Dua jam yang lalu, aku menantimu disini untuk salah satu moment terberat dalam hidupku. Aku duduk disini menantikan detik-detik yang berlalu. Mencoba menyusun kalimat agar dirimu tak terluka, mencoba menyampaikan sebuah bahasa yang sangat mudah dicerna untuk kita. Lalu dirimu tiba, dengan busana biru laut yang sangat indah. Begitu cantik. Membuatku bingung, membuatku semakin resah harus berkata apa. Dapat kulihat raut wajah bahagiamu di saat itu. Begitu anggun, begitu tenang. Namun, aku harus jujur. Aku tak ingin membohongi diriku lagi. Aku tak ingin menipumu, karena itu aku harus mengatakannya, satu kejujuran yang ingin kukemas seindah mungkin. Kejujuran yang akan mengubah arti kata 'kita' untuk diriku dan untukmu.

Satu jam telah berlalu semenjak engkau tiba. Aku masih diam dan tak bicara, kebingungan mencaritahu apa yang harus kukatakan. Ya, aku memang pengecut tapi aku ingin jujur kepadamu walau aku tahu ini akan menyakitkan. Untuk kita. Akhirnya kukumpulkan semua keberanian dalam diriku, aku ingin segera mengakhiri kegelisahan ini apa pun yang terjadi selanjutnya aku akan menerimanya. Aku memintamu untuk mendengarkan. Detik-detik berlalu begitu lambat, rasanya sudah berjam-jam aku terdiam. Andai aku tak harus mengatakan ini, pikirku. Aku menghela nafas dan berkata,"kita putus." diikuti dengan berubahnya raut wajahmu. Wajah yang tak ingin aku lihat. Seketika aku berharap seharusnya ada cara yang lebih baik. Dirimu terdiam tak percaya, waktu membeku beberapa detik lamanya. Aku menanti dengan penuh kecemasan. Dirimu terdiam, menundukkan wajah dan menggigit bibir. Aku pun tak tahu harus berbuat apa.

"Kenapa?" Tanya dirimu membuka percakapan yang sempat membeku sangat lama.
"Karena aku tak tahu lagi apa nama perasaan yang kurasakan terhadapmu." Jawabku.
"Kamu sudah nggak sayang sama aku? Aku kurang apa?" Ucapnya sambil menatapku tajam dengan lelehan-lelehan dipipinya.

Kembali keheningan melanda kami, sang pianis telah memainkan lagu yang baru. Alunan lagu itu mengiris hatiku, aku ingin menjerit sekerasnya, berkata aku juga tak ingin berakhir seperti ini. Tatapanmu semakin tajam mencari tahu jawaban dari dalam mataku. Kali ini bibirku yang mulai gemetar.

"Bukan." aku membuka dengan pelan. "Masalahnya bukan terletak pada dirimu tapi pada diriku yang tidak dewasa. Aku masih menyayangimu tapi bukan perasaan yang sama seperti yang dulu. Aku masih cinta sama.."
"STOP!! Jangan kamu bilang kamu cinta sama aku ketika kamu minta putus dariku." Jeritmu memekak. "Katakan saja, apa yang salah padaku."

Kucoba meraih tangannya untuk menangkan perasaan yang telah terhanyut jauh ini. Ia menolak. Badai telah datang dan melenyapkan ketenangan yang singgah sebelumnya.

"Aku sudah tak mengerti perasaan ini, tak ada lagi euforia yang mengingatkan diriku padamu. Semua itu lenyap entah kemana." Jawabku dengan nada semakin pelan.

Kita kembali terdiam. Aku biarkan dirimu menenangkan diri, membekukan diri dalam momentum yang tak pernah kita inginkan. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Inilah yang aku rasakan, kematian perasaan. Perasaan cinta yang tak lagi sama dengan yang dulu. Tidak ada lagi deburan dalam hatiku untuk bertemu denganmu tapi aku masih menyayangimu sebagai wanita. Sesosok wanita yang pernah kupuja dan kukagumi untuk waktu yang tak singkat. Wanita yang mengisi lembar hidupku, yang bersamanya aku ingin menghabiskan waktuku. Namun, perasaan itu tak ada lagi. Aku bertanya kenapa, tak ingin rasanya aku bangun dari mimpi yang satu ini.

"Baik, aku akan menerimanya." Ucapmu seraya berdiri dan berjalan menjauhiku yang terdiam disudut mati ini. Dapat kulihat matamu yang masih nanar memerah.

Lalu dirimu berjalan menjauh. Meninggalkanku disini yang masih menatap punggungmu. Inilah malam terakhir dari mimpi yang terus kupertahankan. Mulai saat ini semuanya telah berubah, tidak akan ada lagi yang sama antara aku, dirimu, dan sebuah kata 'kita'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar