Minggu, 18 September 2011

Untuk Aku, yang lain

Apa yang bisa kita bagikan untuk anak cucu kita nanti? Pernahkah terpikir apa yang akan kita wariskan kepada mereka saat usia mereka menjadi dewasa? Saat seusia kita saat ini, mungkinkah mereka melangkah mengikuti kita? Terjatuh ke dalam jurang yang sama. Seperti kambing-kambing yang melakukan bunuh diri massal dengan melompat ke jurang. Kegagalan demi kegagalan, setiap luka yang telah kita terima, berbagai langkah bodoh yang kita ambil, demi kesenangan sesaat, dan setiap paradigma konyol yang kita ciptakan. Perlukah mereka melalui itu semua? Semua kembali ke titik nol. Manusia tidak pernah berubah, semakin hari semakin buruk. Setiap generasi yang ada bukan membaik tetapi mempersulit keadaan hingga di titik dimana mereka tidak bisa kembali.

"Aku terluka! Aku merasakan sakit! Aku diperlakukan tidak adil! Aku tidak terima diperlakukan begini! Semua melakukannya, kenapa Aku tidak boleh? Aku ingin orang lain merasakan yang aku rasakan! Aku, aku, aku!"

Persetan dengan Aku. Ya, aku terluka lantas apa? Apa itu berarti Aku berhak menyakiti orang lain hingga lebih parah dari diriku? Lalu apa bedanya Aku dengan orang yang telah membuatku terluka?

Aku merasakan sakit! Oh, sakit? Bagus lah, setidaknya Aku masih memiliki perasaan. Karena aku tahu mana perlakuan yang membuatku sakit dan mana yang tidak, bukan kah itu sesuatu yang perlu disyukuri?

Aku diperlakukan tidak adil! Memangnya siapakah Aku hingga dapat menentukan keadilan itu? Apa itu bukan dari perspektif Aku saja? Hasil dari pemahaman yang tidak utuh dari keadaan dan kondisi yang ada.

Semua melakukannya, kenapa Aku tidak boleh?! Bukan kah tindakan itu tidak baik? Bukan kah apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang disebut salah? Lalu, kenapa Aku mau melakukan kesalahan itu? Setiap Aku melakukan sesuatu yang salah akan ada yang terluka. Pahit.

Aku ingin orang lain merasakan apa yang Aku rasakan! Kalau begitu datanglah dan bercerita. Tidak baik menyembunyikannya sendiri. Kesesakkan akan mencekik secara perlahan hingga akhirnya Aku kehilangan perasaaan dan memandang orang lain tidak seperti semestinya. Menambah jumlah mata rantai yang perlu diputus.

Mata rantai kesakitan. Kepedihan dan Kesakitan selalu ada, tapi selalu ada sisi positif dari semuanya itu. Sebuah cerita yang perlu Aku bagikan untuk temanku yang tengah kesakitan. Kekuatan bagi mereka yang lelah berharap.

Hidup tidak berhenti ketika Aku terjatuh terjelembab. Hidup tidak akan berhenti sebelum Aku menyerah. Hidup lah, untuk sosok Aku yang lainnya. Aku yang membutuhkan orang untuk memahami perasaannya. Aku yang kesakitan, terluka, dan merasa diperlakukan tidak adil. Hidup lah dan katakan bagaimana Aku dapat selamat hingga ke tempat ini,bertemu sosok Aku yang lainnya.

Menjadi Pahlawan

Suatu kali aku menonton sebuah film komedi superhero yang judulnya tidak saya ketahui. Film itu berisi parodi dari film superhero, mulai dari spiderman, batman, x-men bahkan fantastic four. Film itu bercerita tentang seorang muda yang bersikeras bahwa dirinya tidak dapat menjadi pahlawan. Si karakter utama ini mengatakan bahwa diarinya ingin hidup dengan normal, terlepas dari harapan kedua orang tuanya yang sudah almarhum, terlepas dari dirinya yang digigit seekor capung mutan.

Ditengah film konyol yang nampak tidak berisi itu, ada sebuah pertanyaan yang meluncur. Bagaimana caranya menjadikan diri sebagai pahlawan? Hmmm. Menjadi pahlawan? Konyol sekali. Pikirku dengan pikiran sinis. Tidak ada seorang pun yang bisa menjadi pahlawan atas kemauannya sendiri. Bahkan jika dia memiliki kemampuan super yang mendukungnya menjadi pahlawan. Menjadi pahlawan tidak lah semata-mata ketika kita melompat ke kobaran api dan menyelamatkan orang yang ada disana. Tidak sesederhana dengan tindakan menolong yang kita lakukan. Tetapi ada yang lebih dalam yang seringkali kita lupakan dalam serial superhero. Karakter yang nampak tidak penting tetapi berperan besar dalam munculnya si pahlawan ini.

Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan dua oknum. Pertama, oknum ditolong dan oknum penolong. Oknum penolong ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian yang pas, tidak terlalu tinggi juga terlalu rendah. Orang-orang ini bertindak karena ada sebuah dorongan dalam diri mereka yang membuat akhirnya membangkitkan rasa untuk menolong oknum ditolong.

Oknum ditolong adalah orang-orang yang sedang berada dalam masalah. Oknum ditolong adalah objek penderita yang mengalami sebuah masalah dan membutuhkan pertolongan. Di sinilah seorag pahlawan dapat muncul. Tergantung dari bantuan yang diberikan oleh oknum penolong maka respon dari oknum ditolong dapat berbeda. Mulai dari yang paling positif hingga paling negatif. Salah satunya adalah menjadikan oknum penolong sebagai pahlawan. Hal ini dilakukan oleh oknum ditolong. Tentunya akan konyol jika oknum penolong berkata I am My savior. Tetapi jika dilihat dari oknum ditolong kata-kata yang muncul adalah You are My savior. Jadi, dari sini dapat dilihat bahwa seseorang dapat menjadi pahlawan jika oknum ditolong menyatakan hal tersebut.

Ini membawa saya ke dalam perenungan yang lebih mendalam. Sebagai manusia kita harus mengakui bahwa diri kita tidak dapat lepas dari masalah. Dengan begitu, selamanya manusia adalah oknum ditolong. Jika demikian, kita memerlukan oknum penolong dalam hidup kita. Oknum yang dapat menjadi figur pahlawan. Sosok yang dirinya sendiri tidak memerlukan oknum penolong. Bukan kah begitu?

Adiksi menulis

Menulis. Sudah lebih dari dua bulan tidak kulakukan kegiatan itu. Rasanya seperti terlepas dari peredaran. Tidak ada yang bisa dinyatakan, tidak ada yang tersampaikan. Hanya musik mp3 yang terdengar dari kamarku. Berteriak ke dunia luar tentang apa yang aku rasakan dan alami. Teriakkan yang bisu. Saat ini aku bahkan tak tahu apa yang tengah aku tulisankan. Apa yang akan terlahir dari cuap-cuap jemari di tuts keyboard ini. Tidak ada arah, tak ada tujuan. Hanya memuaskan diri dengan untaian kata. Berbincang dengan layar LCD yang menatap secara langsung. Seandainya aku dapat berbicara dengan lebih berani dan lantang, tentunya saat ini tak akan ada tulisan ini.

Menulis, seperti sebuah candu bagiku saat ini. Setiap harinya ada saja yang ingin aku bahasakan tapi tak tahu harus bagaimana. Setiap pengalaman dan pemikiran yang muncul ingin kubahasakan. Ingin kutukar dengan pengalaman orang lain. Semakin hari perasaan ini makin menggerogoti, terasa sesak. Seperti udara telah direnggut dari hidupmu, sebuah kesesakkan yang tak tergambarkan. Ingin berteriak meminta tolong rasanya tidak mungkin. Aneh.

Ya, sepertinya tidak ada yang dapat menggambarkan keinginanku menulis selain yang telah aku nyatakan. Biar kalimat ini terus membisikkan yang tak kuucap. Jadilah tulisan ini sebagai nafasku, jadikan tulisan ini sebagai medan pemaknaan baru dalam dunia yang akan ku hadapi selanjutna. Sebuah track record, teman seperjalanan yang dapat kuandalkan dan selalu mendengar. Rasakanlah, hela nafas yang aku bahasakan. Pengalaman hidup, pemikiran, cerita, impian, dan kehidupan.

Selasa, 17 Mei 2011

A message, from love

Have you ever wait for someone till you are just too tired to waiting? The time feels so slow, the silent killing you inside. The sun slowly fall out in to darkness, the moon rising and you still there waiting. Wandering how will he/she come, how long you have to wait, what kind of clothes he/she would wear. No matter who it is, you just hope so he/she come fast. Not wanna wait any much longer, not wanna hold any longer. But then, a message come.

Please wait, I am preparing the best i could. Just wait


Have you ever feel that no one would come to see you? Sit right beside you, hear all of your story. Wiping all of your tears, laugh with you. Open a new world for you, walk side-by-side with you. Holding hands together. Then, days just passing you through. Every second in your life. You start to feel that, there is no one out there. OK, everyone just fine. Throwing hope, and giving yourself two option. Go single in your whole life or grab anyone to love you. But then again, a message come to your cell.

Wait over there, I am on my way. Just a little bit more.


Have you ever thought that it is too late to talk bout love? You become older and older in every second in your life. Become too busy to talk bout it. Slowly, your faith just fading. I am looking for a true love! You say. Like a fairytale, waiting for a prince with his white horse, finding princess to be saved from evil villain.But, nowadays, it's just a fairytale. You think. Start to believe, there is no such romantic love. But then, message come to your e-mail.

Yeah right, your love story won't be that sweet. It's sweeter than that.


Have you ever though bout someone out there. He is searching for you. She is waiting for her prince. With a guidance from the heart. And when they meet, they heart will jump. Each of them will say, You are the One. You run out, want to reach to his/her as fast as you can. You came, you were there. But then, no voices out. Yet, you received a post-card with a beauty carving. It's said.

No, he/she is not the one. I am the one.


Feels the fated playing with you? Here is another message:

I am preparing myself to meet you. I am preparing the greatest gift I could give for you. I know, you are restless because I feel the same. My heart is pounding, and then I am rushing to find you. Destroying all of the thing I have prepared, so I'll have to start a new one. I know I have to patience to find you. Like a prince that seek for Cinderella, only her feet could fit the shoe I brought. Only she, could fill that space. I can't force someone to wear it, it could broke. It won't fit someone else than her. As my heart, it won't fit to other else, except you. When the time comes, I'll shout out joy. Then, as the biggest present I can give to you. Like a prince that bring you to his castle, I'll bring you to my heart. Giving you the present that only I can give. Myself. It's our love story.

Senin, 21 Maret 2011

Mentari, Bumi, Bulan

Perlahan senja mulai merambat menyelimuti Bumi. Meneduhkannya selama dua belas jam ke depan dari cahaya Mentari yang membakar kulitnya. Seiring dengan itu anak kecil kembali ke rumah masing-masing. Sang ibu memanggil-manggil anaknya penuh kecemasan. Jangkrik pun berbincang-bincang satu dengan yang lain dengan bahasanya sendiri.

Perlahan kegelapan menyelimuti mata ini. Meminta agar setiap mata terpejam supaya sang Bulan dapat tampil dalam ketelanjangannya yang tulus. Sang Bulan menyampaikan salam yang diberitakan oleh Mentari. Sebuah janji untuk kembali bersinar keesokan harinya. Mentari tahu bahwa tanpa cahaya, Bumi akan ketakutan. Histeris. Karena itu, Mentari menitipkan cahayanya melalui Bulan untuk menemani Bumi sampai tiba saatnya Mentari datang dan memeluk Bumi dengan begitu erat dan hangat.

Bumi terlelap dalam kehangatan yang diberikan oleh Mentari. Pelukan yang begitu erat seolah ia tak mau melepaskan Bumi. Ketika Mentari teringat bahwa Ia harus pergi meninggalkan Bumi dalam kedinginan yang mencekam seketika itu pula Ia menangis. Tetesan demi tetesan terjatuh ke Bumi begitu saja tanpa mampu dibendung Mentari. Menciptakan lelehan yang terasa menyakitkan bagi Bumi. Sesaat kemudian Mentari kembali memeluk Bumi erat, Ia berteriak. Menggelegar. Tak mampu Dirinya menampakkan wajah sedih di hadapan Bumi. Ia menenggelamkan wajahnya. Cukup lama Ia menangis. Hingga datanglah Bulan, sahabatnya, menenangkan dirinya dari jarak yang begitu dekat. Begitu dekat dengan Mentari dan Bumi.

Kemudian Bulan berkata:
"Aku akan menjaganya sekali lagi untukmu. Aku akan berada di dekatnya. Sedekat mungkin supaya aku dapat segera mengetahui apa yang dirasakan oleh Bumi dan menyampaikannya padamu. Aku akan menjadi perantara bahasa kasihmu padanya."


Perlahan Mentari bergerak meninggalkan Bumi dalam kegelapan bersama Bulan. Suara isak Mentari masih dapat terdengar. Air matanya masih meleleh menimpa Bumi. Walau Mentari sudah tak di sana. Ia masih belum bisa menyampaikan bahasa kasihnya. Hatinya masih terluka. Hingga jam berdetak dua belas kali. Barulah Mentari menuliskan bahasa kasihnya untuk disampaikan pada Bumi melalui perantara Bulan yang kini begitu dekat dengan Bumi. Menjaganya sebagai sahabat dari yang tercinta.

inspirasi dari Supermoon

Teori tentang kesepian

Beberapa hari belakangan ini rasanya saya semakin terjangkit virus FB. Virus mematikan yang membuat saya tergeletak memandangi sebuah situs dalam waktu beberapa lama hanya untuk menantikan hal yang tidak pasti. Update status. comment. Dua hal ini yang paling mengganggu hati saya akhir-akhir ini. Sebagai seorang mahasiswa yang "terisolasi" mungkin FB menjadi sebuah media untuk kembali keep in touch dengan dunia luar. Atau sekadar mengobrol dengan orang-orang yang kita kenal. Rasanya semua orang menganggap bahwa hal ini adalah suatu yang lumrah dan wajar. Pernahkah terpikir dalam benak kita masing-masing bahwa kita sedang kesepian dan membutuhkan orang lain?

Saya tidak tahu apa yang pembaca rasakan tapi saya rasa FB dapat menimbulkan kecanduan yang akut. Jadi, saya mencoba mengajukan sebuah tesis. Orang-orang menjadi kesepian karena mereka merasa bahwa lingkungan dimana mereka hidup tidak dapat menerima mereka apa adanya. Hal ini dapat disebabkan banyak hal. Misalnya saja pada budaya tertentu dikatakan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis, seorang wanita harus lemah lembut, harus menampakkan keceriaan setiap hari, dan keharusan-keharusan lain yang membuat kita merasa tertekan. Apakah kelaki-lakian seorang pria akan diragukan jika dia menangis? Apakah perempuan dapat dikatakan pria jika ia tidak lemah lembut? Tentu tidak. Tetapi sayangnya, jarang diantara kita yang menyadari hal ini sehingga membuat diri kita tersiksa memenuhi ekspektansi-ekspektansi yang ada.

Individu menjadi sosok yang kesepian ketika ekspektansi yang dimiliki oleh masyarakat atau yang ada pada mereka sendiri terlalu tinggi. Sehingga menimbulkan perasaan rendah, penolakkan, tidak dapat dimengerti, dan sebagainya. Perasaan inilah yang membuat masing-masing dari kita merasa sendiri dan kesepian. Jika hal ini terus berlanjut maka besar kemungkinan individu akan semakin sulit untuk menerima diri apa adanya dan menjadi semakin kesepian setiap harinya.

Lalu apa hubungannya dengan FB atau jejaring sosial lain? Sepintas memang tidak ada korelasi yang nampak antara kesepian dengan jejaring sosial-saya sendiri tidak menyadarinya sampai saya teringat artikel ini- tetapi ada sebuah riset yang menunjukkan adanya korelasi antara berapa sering seorang mengakses jejaring sosial dengan tingkat depresi. Jadi saya merasa tertohok dan bertanya apakah saya sedang depresi? Karena tingkat saya mengakses jejaring sosial akhir-akhir ini lebih banyak dari biasanya.

Tesis kedua yang bisa saya lontarkan adalah adanya sebuah kepuasan ketika kita mengakses jejaring sosial. Karena di jejaring sosial kita bisa mengatakan apa pun, terlepas dari apakah itu hal yang penting atau tidak. Tanpa perlu was-was, kita merasa bebas untuk mengeluarkan apa yang ada dipikiran kita. Status-status yang kita lontarkan di jejaring sosial ini kemudian direspon oleh teman-teman kita sehingga membuat kita merasa tidak kesepian, mendapat perhatian, dan perasaan diterima. Dan dari pengamatan saya, hal ini bersifat cukup adiktif. Beberapa teman saya menghabiskan waktu dua, tiga, sampai sepuluh jam per harinya untuk membuka FB. Ini saya ketahui dari iseng-iseng ketika membuka profile teman-teman saya.

Tesis ketiga sekaligus yang terakhir adalah, seorang individu yang telah addict dalam dunia maya akan merasa kesepian dan tidak nyaman untuk kembali ke dunia nyata. Hal ini bisa jadi karena individu itu merasa bahwa dunia maya lebih memuaskan dan lebih menyenangkan dibandingkan dunia nyata. Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan yang tidak terputus, ketika individu memasuki dunia nyata dan melihat kenyataan tidak seindah dunia maya maka ia kembali ke dalam dunia maya yang merupakan zona aman bagi dirinya. Hal ini terus berulang hingga ia tidak menyadari bahwa ia sudah terlalu lama dalam dunia maya. Seperti ditelan hidup-hidup, tidak merasakan sakit, begitu tersadar kita sudah dicerna oleh penolakkan dan kesepian yang sedikit banyak kita ciptakan sendiri.

Masuk ke bagian aplikasi, mungkin sudah saatnya kita kembali ke dunia nyata dan membenahi apa yang ada. Bangun dari dunia impian. Keluar dari zona aman. Bersama orang-orang yang anda kasihi, orang-orang yang penting bagi kita semua. Atau mungkin anda bisa menolong menyadarkan teman anda?

Kamis, 10 Maret 2011

Sosiopat

Mungkin jarang sekali orang mendengar apa yang disebut sebagai sosiopat. Masyarakat tidak familiar bahkan tidak paham sama sekali dengan istilah ini. Sosiopat. Salah satu fenomena sosial yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu psikopat, antisosial, dan disosial. Sosiopat sendiri merupakan suatu perilaku "menyendiri" yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu membaur dengan lingkungan sosial. Pada umumnya, sosiopat lebih sering dihubungkan dengan apa yang kita sebut sebagai psikopat. Karena itu, tidak heran banyak orang yang lebih mengenal istilah psikopat dibandingkan antisosial dan disosial bahkan sosiopat itu sendiri.

Psikopat tidak selalu melakukan hal-hal ekstrem seperti yang dituduhkan kepada mereka di televisi atau berita yang kita dengar. Tidak selalu melakukan pembunuhan kejam atau sadis. Seorang psikopat biasanya mudah marah, memiliki banyak pasangan (sexual partner), keras kepala ketika berbohong dan tidak memiliki kemampuan untuk membaur atau berteman dalam jangka waktu yang lama. Menurut saya, seorang psikopat dapat muncul karena pengalaman di masa lalu yang membuat dirinya menjadi pemarah dan keras kepala ketika berbohong. Seseorang dikatakan keras kepala dalam berbohong jika ia ketahuan berbohong, ia akan membuat kebohongan lanjutan untuk menutupi kebohongan yang ia lakukan sebelumnya. Hal ini membuat saya agak bingung karena bukankah setiap orang (pada umumnya) melakukan hal tersebut?

Antisosial adalah orang-orang yang memiliki "kebiasaan" untuk menyakiti orang disekitarnya. memiliki kebiasaan mencuri dan sulit untuk berteman. Agak sulit untuk membedakan seorang antisosial dengan psikopat karena memiliki kemiripan yang cukup banyak. Seorang antisosial adalah orang yang menyendiri. Mereka tahu dan sadar betul mengenai nilai yang ada di masyarakat tetapi tidak mencoba atau menolak nilai-nilai tersebut sehingga mereka terkesan "tertolak" oleh lingkungan. Kelompok antisosial memang jarang dilihat oleh masyarakat bahkan dianggap tidak ada. Tetapi sadar atau tidak kehadiran orang-orang ini semakin lama semakin bertambah.

Berbeda sebutan tentu juga berbeda arti. Disosial. Sama seperti dua "temannya" yang saya sebutkan sebelumnya, orang-orang disosial adalah orang-orang yang tidak dapat berteman dalam waktu lama. Bedanya, seorang disosial adalah orang yang menyakiti orang disekitarnya dan memiliki tingkat narsisme yang lumayan tinggi. Disosial adalah orang yang tidak memahami bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sosial. Di dalam diri masing-masing memiliki perasaan ingin diterima masyarakat tetapi tidak paham hal apa yang harus dilakukan untuk dapat diterima oleh masyarakat.

Satu ciri yang paling tidak bisa dibedakan dari para sosiopat dari masyarakat pada umumnya adalah, mereka dikenal dengan keramahan mereka dan kebaikan mereka. Walau ada ciri khas yaitu sulit bersahabat, memiliki kecenderungan berbohong, merugikan orang disekitarnya dan narsistik. Selain dari ciri yang saya sebutkan di atas, saya yakin banyak hal lain yang menjadi ciri khas para sosiopat yang mungkin dapat kita katakan sebagai sesuatu yang "normal" bagi kita. Karena itu, sulit untuk membedakan apakah seorang adalah sosiopat atau bukan, mungkin anda salah satunya? Atau mungkin teman anda?

#Dari berbagai sumber

Selasa, 22 Februari 2011

Simple Love

Aku ingin mengartikan rasa ini dengan lebih sederhana
Seperti anak kecil yang menikmati permennya
Seperti haus dahaga yang terbasuh air
Hanya ada satu kata bahagia yang sederhana

Aku ingin menyentuhmu dengan cara yang sederhana
Seperti langit yang menyentuh bumi dengan hujan
Menyejukkan bumi yang haus dan layu
Sentuhan yang tidak muluk-muluk dan biasa saja

Aku ingin berkomunikasi dengan sederhana
Seperti lautan yang menyentuh bibir pantai
Sebuah kewajaran bila pantai memeluknya erat
Tak perlu ribuan kata manis terlontar daripadaku

Andaikan rasa ini begitu sederhana
Cecaplah dan temukan aku didalamnya
Dekaplah diriku dan biarkan rasa ini terurai
Sehingga dapat aku curahkan padamu
Cinta sederhana yang tak terurai lagi

Mengapa dirimu muncul kembali?

Kenapa bayangmu hadir kembali saat aku berjalan di bawah teduhnya malam? Dahulu aku yakin telah melarikan diri dari sosokmu yang selalu membuatku tersenyum. Mengingat akan dirimu adalah suatu masa yang pahit karena kita tak mungkin bersama. Dirimu berada di ujung dunia yang berwarna putih, sedangkan aku terjebak dalam dunia yang gelap. Memoriku masih merekam dengan jelas sosokmu yang kerap hadir menghiasi duniaku, siang maupun malam. Membuatku semakin sulit menghapus dirimu dari dalam ingatanku.

Kenyataan bahwa aku tidak sedang bermimpi membuatku semakin terluka. Dirimu begitu nyata hadir dalam setiap lamunanku, kastil yang terbuat dari mimpi tentangmu. Andai saja aku sedang bermimpi, kuharap aku bangun dengan segera dan mendapati dirimu yang nyata ada sisiku. Aku hanya mampu menyentuhmu lewat mimpi. Tapi itu jelas tak mungkin. Karena dirimu terlalu nyata untuk masuk ke dalam dunia seorang pemimpi sepertiku. Terlalu nyata untuk kusentuh dalam mimpi.

Berkali aku mencoba memberikan sebuah kode kepadamu sebagai sebuah isyarat bahwa aku memerhatikanmu. Sadarkah dirimu yang ada disana? Kenapa dirimu tak berpaling ke arahku? Apa karena kode yang kuberikan tidak jelas? Atau karena dirimu memang tak bisa masuk dalam dunia pemimpi?

Aku tak bisa melupakan caramu membentuk sebuah lengkungan di pipimu. Aku tak pernah lupa bagaimana duniamu bertubrukan dengan duniaku. Satu hal yang paling kusukai tentangmu adalah bagaimana dirimu mau bekerja keras. Sikap pesimismu yang membuatku semakin tak bisa melupakanmu.

Aku membayangkan dirimu akan menjadi seorang ibu yang baik. Seorang yang bisa menjadi sahabat dan sosok yang dekat dengan anakmu kelak. Kemudian dirimu akan berada disebuah rumah dengan halaman yang teduh. Pepohonan seolah bernyanyi mengikuti irama nina bobo yang kau lantunkan untuk si mungil. Tatapanmu teduh menenangkannya. Dengan sedikit bercanda dirimu mengimajinasikan apa yang terjadi padanya kelak. Di sebelahmu duduklah seorang laki-laki yang menatapmu dengan penuh kasih yang lekat. Seolah dirinya tak menginginkan dirimu menjauh. Tak lama aku tersadar dengan perih dalam hatiku, menyadari bahwa laki-laki itu tak mungkin diriku.

Aku tak pernah menjadi sosok yang kau inginkan. Kriteria yang dirimu sebutkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada padaku. Aku berdiri di daerah hitam tetapi dirimu berada di daerah putih yang bersinar. Kita dipisahkan sebuah jurang lebar yang membuatku tak bisa mendekatimu. Aku pernah mematikan perasaan ini agar aku tak bermimpi terlalu jauh. Tidak terbang dengan impian yang tak mungkin terwujud. Tapi dirimu kembali datang dalam tidurku sekarang. Dan siklus yang sama kembali terulang. Kemudian di atas semua itu aku harus kembali berusaha mematikan perasaan ini kembali.

Jumat, 18 Februari 2011

Bon Appetite

Lihat itadakimasu!!


Area makan. Kini tidak lagi menjadi sebuah tempat untuk menyantap makanan saja. Saat ini, area makan telah memiliki fungsi lain. Sebuah medan gengsi, sebuah tempat untuk mengobrol, tempat dimana kita mendapat pengalaman dari cerita teman, dan sebuah tempat untuk melupakan semilir angin sepi yang seringkali bertiup. Hal ini sudah menjadi sebuah rahasia umum, tidak peduli berapa usianya, area makan menjadi sebuah tempat yang paling mengesankan di seluruh dunia.

Dengan fungsinya yang beraneka ragam, sebuah area makan memberikan cita rasa tersendiri untuk para penikmatnya. Saat ini area makan tidak lagi dinikmati sebagai sebuah area untuk menyantap hidangan. Ia memiliki fungsi baru yang tidak bisa ditolak untuk sebagian orang. Sebuah keinginan untuk menghindari rasa kesepian.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia adalah sosok yang membutuhkan manusia lain. Keadaan zaman yang serba cepat, membuat kita kesulitan untuk bertemu sekedar untuk mengobrol secara ringan antar manusia. Karena itu tidak heran jika seorang lebih mudah merasa kesepian akhir-akhir ini. Tidak menemukan manusia lain yang dapat menemaninya secara fisik dan emosi menyebabkan perasaan tersebut semakin terpupuk. Dan area makan mampu mengatasi hal tersebut. Tempat ini menyediakan sebuah ruang dimana orang-orang dapat bertemu dan saling bercerita. Mulai dari hal-hal yang sifatnya umum hingga masalah pribadi. Kemudian berlanjut menjadi sebuah kelompok yang semakin erat seiring dengan banyakanya cerita yang diedarkan.

Di area makan, orang-orang berkumpul dan mulai bercerita. Mendengar apa yang ingin didengar dan membuang apa yang tidak ingin didengar. Memercayai yang ingin dipercayai dan mengacuhkan yang lain. Kemudian karena begitu banyaknya cerita yang didengar dan dipercayai. Akhirnya nilai-nilai yang tertanam mulai bergeser. Hal ini membuat kita bingung untuk memilih mana hal yang benar dan mana yang kurang benar.

Bukan hanya itu, area makan juga menawarkan hal lain yang tidak kalah penting untuk manusia pada umumnya. Gengsi. Berbeda area makan, berbeda pula perasaan yang ikut serta didalamnya. Ada sebuah prestige tersendiri ketika mengunjungi area makan yang unik atau mewah dibandingkan datang ke area makan yang bisa dikatakan sederhana atau biasa saja. Contohnya saja ketika ingin meneguk secangkir kopi. Ada perasaan yang berbeda ketika membeli kopi di Starbucks. Ada sebuah kebanggaan, sebuah pengalaman, dan yang terpenting perasaan ketika datang dan membeli. Secara sadar, kita sebagai manusia paham bahwa gengsi menjadi sebuah tolak ukur yang mutlak dalam masyarakat. Karena menyadari hal inilah, akhirnya kita mencoba menjadi yang paling up-to-date dan ingin populer.

Mungkin yang kita nikmati sebenarnya bukanlah makanan yang ada melainkan fasilitas yang terselubung di area makan. Tidak heran jika beberapa penjual makanan keliling kekurangan pendapatnya. Saya rasa ini ada hubungannya dengan kecenderungan kita untuk duduk dan menikmati area makan. Angkatan ini adalah angkatan yang menyukai makna dibandingkan fungsi. Sebuah nilai prestige dari pengalaman, baik yang diceritakan orang lain maupun dialami diri sendiri. Saya jadi sedikit berpikir, mungkin selama ini kita menikmati makan hanya sebagai rutinitas dan kehilangan makna sesungguhnya dari makan itu sendiri.

Minggu, 06 Februari 2011

Against All Odd

Hmmm
How can I just let you walk away
Just let you leave without a trace
When I stand here taking
Every breath with you ohhh
You're the only one
Who really knew me at all

How can you just walk away from me
When all I can do is watch you leave
'Cause we've shared the laughter and the pain
And even shared the tears
You're the only one
Who really knew me at all

So take a look at me now
'Cause there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me
Just the memory of your face
So take a look at me now
'Cause there's just an empty space
And you coming back to me is against the odds
And that's what I've got to face

I wish I could just make you turn around
Turn around and see me cry
There's so much I need to say to you
So many reasons why
You're the only one
Who really knew me at all

So take a look at me now
'Cause there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me
Just the memory of your face
So Take a look at me now
So there's just an empty space
But to wait for you
is All I can do
When that's what I've got to face

Take a good look at me now
'Cause l'll still be standing (standing here)
And you coming back to me is against all odds
That's the chance I've got to take

Yeahh yeah yeah
Take A look at me now
(Take A Look at me now)

Minggu, 30 Januari 2011

Nilai seorang mahasiswa

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman meributkan masalah dua digit. Hari ini giliran saya yang bingung karena masalah IP. Minggu lalu, saya berhadapan dengan seorang dosen pengampu Psikologi Lintas Budaya. Kebetulan teman saya yang mengolah data tersebut. Saya ikut menyaksikan bagaimana nilai-nilai Ujian Akhir Semester (UAS) diolah. Di sana saya mendapati nilai C. Bukan nilai yang asing bagi saya. Saya memang bukan orang yang pintar dan sudah beberapa nilai C bertengger di Kartu Hasil Studi (KHS) saya. Teman saya ini menyarankan agar saya memberikan nilai peer rating yang memungkinkan saya untuk mengubah nilai. Awalnya saya berpikir untuk mengubah karena iri dengan teman-teman lain yang memiliki nilai di atas saya. Tapi saya merasa bahwa nilai itu memang pantas untuk saya. Mari perhatikan, saya tidak belajar untuk presentasi dan tidak menuliskan secara jelas jawaban dalam kuis. Pantaskah saya untuk protes? Rasanya tidak.

Kemudian dua orang teman berkata kepada saya untuk mengubah nilai tersebut. Mereka berkata bahwa teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama. Disini saya cukup kaget mendengar yang dikatakan teman saya itu. Jadi, nilai yang terpampang di layar laptop, yang saya pandangi saat ini adalah palsu? Hasil pengangkatan oleh penilaian teman. Kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, kenapa banyak orang yang memandang nilai ini begitu penting? Apa iya mereka tidak bisa hidup kalau ada cacat dalam nilai? Mendapat nilai B/C atau C rasanya bukan akhir dunia. Ok, mungkin saya bisa berkata begini karena sudah ada nilai C yang bertengger di KHS saya. Akhirnya saya memutuskan untuk menemui dosen pengampu Psikologi Lintas Budaya tersebut keesokan harinya.

Singkat cerita, saya berhasil mengubah nilai saya dengan menggunakan peer rating yang saya terima dari empat orang teman saya. Mereka memberi nilai rata-rata yang hampir sama. B. Untuk attractiveness (padahal saya tidak membawa apa pun untuk presentasi) dan untuk penguasaan materi. Dalam hati saya berpikir, mungkin sepantasnya saya protes dan bilang ke dosen tersebut untuk mengubah nilai menjadi D. Kemudian dua teman saya yang mengolah nilai tersebut datang ke kampus untuk mengubah nilai C saya. Kalau tidak salah ingat, porsi nilai yang saya dapat dari attractiveness dan penguasaan materi adalah 80% jika ditotal. Dengan kata lain, jika saya mendapat nilai B, maka saya akan mendapat nilai B juga untuk dipajang di KHS. Kemudian saya juga ingat dengan jelas bahwa nilai saya berubah menjadi B. Nyatanya tidak.

Beberapa hari lewat semenjak perubahan nilai itu. Saya kemudian melihat nilai saya dipampang pada situs resmi fakultas. Dengan rasa penasaran yang pasti dialami oleh semua mahasiswa. Nilai apa saja yang sudah muncul? Disitu saya melihat hanya ada satu nilai. Psikologi Lintas Budaya. Aneh, nilai yang tercetak di sana A/B. Sebagai mahasiswa tentu saya merasa kaget dengan nilai yang muncul ini. Saat itu saya sudah yakin mendapat B.

Saya merasa hal ini tidak benar dan ingin mempertanyakan langsung kepada dosen. Bagaimana mungkin? Saya yang seharusnya mendapat nilai D untuk mata kuliah ini mendadak dijejali dengan nilai A/B. Bertengger sendirian di sana. Nampak sekali kalau ia sedang menantang nilai lain yang belum memunculkan diri. Di tengah kekagetan saya, ada bisikkan yang masuk.
"Sudah tidak perlu diurus lagi, dosen itu pasti lelah dengan masalah nilai yang diperkarakan 1 minggu ini. Lagipula, apa tidak kasihan dengan temanmu yang sudah mengolah data? Mereka sampai kehujanan loh. Lagipula nilaimu bagus loh, sudah tinggi. Kenapa ingin diturunkan?"

Sesaat saya berpikir, mungkin benar. Sebaiknya tidak usah diusut lagi. Terlalu banyak perhatian yang tersita. Terlalu melelahkan harus berurusan dengan angka biner yang menjadi penghubung hidup dan mati beberapa mahasiswa. Di sisi yang lain, saya merasa ini tidak adil. Kenapa mahasiswa seperti saya bisa mendapatkan nilai A/B? Padahal saya tidak berusaha sejauh itu. Saya tidak memberikan yang terbaik sewaktu presentasi. Jadi, saya putuskan untuk menanyakan langsung kepada dosen. Kalau bisa mengubah A/B menjadi B. Saya cukup puas dengan nilai itu. Tidak perlu lebih tinggi.

Belum lama setelah saya mantapkan pilihan. Bisikkan lain mengikuti.
"Kenapa tidak bersyukur? Banyak orang yang menginginkan nilai tinggi itu dan sekarang kamu mencampakkannya begitu saja? Bukankah nilai A/B itu akan membahagiakan orang tuamu? Bukankah kamu ingin orang tuamu bahagia?Ayolah, kapan lagi kamu bisa mendapat nilai A/B?"

Saya kembali terhenyak. Benar. Selama ini nilai saya tidak memuaskan. Benar. Saya ingin membahagiakan orang tua. Ya, saya mengakui sebagai manusia. Sebagai seorang mahasiswa. Saya membutuhkan nilai A/B itu. Saya menyadari itu sebagai kebutuhan. Agar dapat mendapatkan pekerjaan layak. Agar mendongkrak nilai. Agar bisa membahagiakan orang tua. Tapi bukan dengan cara itu. Bukan dengan mengelabui semua orang termasuk diri sendiri. Membanggakan diri dengan nilai tinggi tanpa kerja keras rasanya tak pantas. Ya, aku membutuhkan nilai itu. Tapi dengan kemampuanku sendiri. Setiap kali melihat teman-teman yang berusaha keras atau mendapat nilai baik seringkali terlintas,"Kenapa saya tidak berjuang lebih keras?"

Kemudian saya mengangkat kepala. Menyadari bahwa diri saya pun menginginkan nilai. Saya sombong dan angkuh. Tapi, sudah saya bulatkan tekad untuk mengubah nilai saya ke nilai seharusnya. B. Walau pasti akan sulit menemui dosen dan mengubah nilai tersebut. Seoran pernah berkata,"Lakukanlah apa yang menurut kamu benar. Mungkin tidak ada alasan logis atau hal itu dianggap tidak wajar oleh orang lain. Tetapi itu berarti jujur kepada diri sendiri."

Saat ini saya masih kebingungan dengan langkah yang akan saya ambil. Mengubah atau tidak. Saya tidak seratus persen yakin bahwa hal ini baik untuk dilakukan. Tapi saya juga tidak bisa diam melihat nilai saya yang tidak pantas itu.

One does not become enlightened by imagining figures of light, but by making the darkness conscious.
-Carl. G. Jung-

Kamis, 27 Januari 2011

Valentine's -David Choi-



I see a couple strollin' down the street
They're so in love,
There is not a worry
And to the clock they said goodbye
They ain't in a hurry

And sometimes I feel kind of lonely
Ask myself where is my one and only
Until she comes to me, I'll wait
Until then I shouldn't be feeling this way

Won't let no Valentine's get me down
Or when Christmas time comes around
Just cuz I'm alone right now
Don't mean I should hold a frown

Oh in the meantime love is here you'll find
The simple things that slip your mind
The joy of hope for better days
You know that love can find its ways

When you finally find the one who you can call your own
You can tell yourself the wait was worth it all
Cuz you got something here to last forever

I can smile cuz there's so much in store
The future holds for me more than I will ever know
Shouldn't make no room for feeling sad

Won't let no Valentine's get me down
Or when Christmas time comes around
Just cuz I'm alone right now
Don't mean I should hold a frown

Oh in the meantime love is here you'll find
The simple things that slip your mind
The joy of hope for better days
You know that love can find its ways

Won't let no Valentine's get me down
Or when Christmas time comes around
Just cuz I'm alone right now
Don't mean I should hold a frown

Oh in the meantime love is here you'll find
The simple things that slip your mind
The joy of hope for better days
You know that love can find its ways

Senin, 24 Januari 2011

Robot atau alien?

"Are you robot or an alien?"

Pertanyaan yang menghenyakkanku beberapa menit yang lalu. Pertanyaan ini kudengar dari salah satu film Barat. Aku baru saja menyadari makna yang terkandung di dalam pertanyaan konyol ini.

Robot. Sebuah benda yang diciptakan manusia. Bergerak menurut program yang telah mengaturnya. Tidak memiliki keinginan dan tujuan hidup selain melakukan apa yang menjadi programnya. Dalam film, biasanya robot diproduksi secara massal. Robot-robot ini disimbolkan sebagai orang-orang yang menuruti aturan tanpa tahu aturan itu benar atau salah. Bahayanya adalah karena mereka ternyata berada disekitar kita. Tanpa kita sadari mungkin kita adalah salah satunya. Pola pikir kita yang tidak kritis membuat kita bergerak layaknya robot. Apa yang kita lakukan nampak sebagai rutinitas. Hidup kita bagai program. Sekolah, mencari kerja, menikah, memiliki anak, dan meninggal. Selalu berurutan seperti itu. Kemudian ketika ditanyai tujuan hidup, mengenai visi, ia akan bingung. Karena hidup yang berlalu begitu saja, tanpa tujuan, tanpa arah. Semua nampak seperti rutinitas belaka.

Alien. Sosok makhluk asing yang belum pernah ditemui sebelumnya,. Makhluk yang benar-benar baru. Sosok ini sering digambarkan sebagai sosok yang ingin mengubah dunia manusia menjadi dunia yang mereka inginkan. Mereka memiliki sebuah tujuan yang jelas. Penaklukan. Penguasaan. Dan yang terpenting perubahan sistem. Seringkali robot dan alien ini berkonfrontasi. Kubu yang ingin mengubah dan kubu yang ingin bertahan. Alien dapat kita analogikan sebagai seorang revolusioner. Seorang yang memiliki cara pandang berbeda dari sekitarnya. Seorang teman berkata kepadaku bahwa orang dengan idealisme adalah orang yang kesepian. Begitu juga alien ini, ia datang sendiri. Mencoba mengubah dunia yang baru menjadi tempat yang mereka anggap lebih layak.

Nampaknya hal ini lebih mudah jika diibaratkan dalam sebuah narasi. Suatu waktu di masa depan. Bumi telah dipenuhi oleh robot. mereka bekerja menggantikan manusia. Bahkan keberadaannya sering menggantikan manusia sendiri. Hal ini diakibatkan jumlah manusia yang sedikit karena perubahan cuaca yang drastis dan berdampak pada kematian massal manusia tiap tahunnya. Kemudian untuk memenuhi jumlah quota pekerja, manusia menciptakan robot. Karena robot lebih mudah untuk diminta bekerja sesuai dengan program. Kemudian datang Alien dari luar angkasa yang menyerang Bumi dan ingin mengubahnya menjadi tempat yang menurut mereka baik. Alien ini terpisah-pisah. Merasa dirinya berjuang sendirian. Akhirnya mereka memunculkan pengikut-pengikut baru. Anak-anak alien yang lucu dan menggemaskan. Kemudian alien ini mulai menyerang ditempat-tempat berbeda. Banyak dari serangan tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan karena mereka kalah dalam jumlah berbanding robot yang memenuhi Bumi. Sebagian lain berhasil tetapi tidak dapat menguasai Bumi karena tidak ada penerus yang dapat melanjutkan. Dan Bumi kembali diliputi robot-robot yang "menguasai" Bumi. Bukankah selalu seperti itu dalam film?


"Are you robot or an alien?"

It's level up time!!

Respon terhadap dua digitnya saya heran...

Sewaktu aku kecil tanteku berkata bahwa aku haruslah ranking satu. Ia berpesan kalau aku haruslah menjadi yang terbaik. Ia juga berkata bahwa nilai berdigit dua itu yang menjadi tujuanku belajar. Kemudian aku yang masih kecil dan sangat polos menjawab dengan pasti,"Ah tidak apa-apa, kalau tidak dapat ranking satu yang penting naik kelas." Saat itu aku masih sekitar dua SD. Aku berpikir bahwa jika aku tidak memahami pelajaran yang diajarkan tidak akan ada artinya aku mendapat rangking teratas. Namun, tanteku bersikeras bahwa aku haruslah rangking pertama. Sebagai anak kecil polos yang masih bergantung pada orang dewasa, aku mengiyakan. Namun, perasaanku berontak. Aku berpikir bahwa mendapatkan ranking pertama bukanlah tujuanku bersekolah. Motivasiku bersekolah saat itu adalah karena aku dapat menemukan hal baru mengenai dunia ini, aku menemukan bahwa belajar itu menyenangkan! Banyak hal yang ternyata tidak kuketahui.

Banyak dari antara teman-temanku yang mengatakan bahwa sekolah membosankan dan menyebalkan. Aku hanya mengiyakan apa yang mereka katakan tapi tidak berkata bahwa menurutku sekolah menyenangkan. Setiap aku naik kelas aku mendapatkan tantangan baru. Seperti melanjutkan ke tingkat dalam sebuah game. Pelajaran yang kuterima aku anggap sebagai experience yang harus kudapatkan untuk bisa meningkatkan level. Aku tak pernah mengatakan hal ini kepada temanku karena mereka akan menganggapku sok rajin, anak pintar, anak alim, dan sebutan lain yang membuatku tidak nyaman. Aku merasa berbeda saat itu. Kini sudah belasan tahun lewat dari masa itu. Aku menemukan masalah yang sama. Ketika dua digit yang diberikan oleh dosen seperti pernyataan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Awalnya aku juga merasa bahwa dua digit itu penting. Sebelum akhirnya pada semester satu, aku merasa bahwa aku harus memiliki nilai yang baik. Tetapi semua segera berubah, aku tersadar bahwa bukan itu yang aku cari dalam perkuliahan. Yang aku cari adalah seorang yang dapat memberikanku experience yang cukup bagiku agar bisa maju ke level selanjutnya. Mencari nilai bukan tujuan utamanya. Aku merasa kecewa dengan nilaiku yang kurang memuaskan, rasanya semua orang seperti itu. Memang nilai itu akan menjadi penilaian dalam mencari kerja, tapi itu semua akan hilang dalam sekejap. Aku maju sejauh ini dan berusaha menutup telinga atas apa yang mereka katakan mengenai nilai. Nilai itu penting tapi jangan menjadi yang terpenting. Jika berkuliah untuk mendapatkan nilai, bisa saja meminta dosen memberikan nilai A atau berapa pun yang diinginkan. Nilai itu didapat dari kemampuan. Mungkin yang tidak baik bukan nilai yang kita dapat tetapi sistem yang membuat nilai itu muncul. Kemudian sebuah pertanyaan muncul dikepalaku, adakah orang lain diluar sana yang mempertanyakan dua digit itu?

Desire for Love

Pernah seorang teman berkata bahwa cinta seorang pria didasari oleh nafsu. Tidak ada definisi cinta bagi kaum Adam. Bagi kami, yang ada hanya hasrat seksual yang menggebu-gebu. Yang kami lihat hanya keindahan tubuh wanita-wanita seksi yang setiap hari berjalan di area perkotaan maupun desa. Seperti halnya etalase berjalan, kami mulai melirik dan menelusuri lekuk tubuh yang berjalan di sekitar kami. Seonggok daging yang dikatakan seksi. Itulah yang kami lihat dari wanita, terlepas dari apakah mereka memakai pakaian wajar atau tidak. Kami tidak memiliki mata super seperti Superman atau peralatan canggih layaknya Superhero. Tapi kami mampu menelanjangi mereka hanya dengan menatapnya. Kami diberikan kemampuan untuk melakukan hal itu. Bukankah pria lebih imajinatif dalam hal-hal seperti ini? Tentu tidak ada yang meragukan kemampuan kami dalam hal mengingat jalan, memperhitungkan arah, hingga membuat gambar abstrak. Menelanjangi mereka rasanya bukan hal yang sulit. Lalu, penulis mempertanyakan sisi manusia dari makhluk yang kelak akan membimbing sebuah keluarga ini. Sosok yang akan jadi panutan dan dihormati di dalam sebuah keluarga. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang normal dengan akal sehatnya, tidak menolak ketika dibimbing oleh sosok tak berperasaan yang diliputi nafsu seksual?

Seringkali kami dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang lebih mengandalkan pikiran kami daripada perasaan. Dianggap tidak peka dan sebagainya. Lalu kenapa banyak orang memilih kami sebagai kepala? Bukankah kami adalah makhluk yang tidak mengenal arti kata cinta? Yang bergerak dengan nafsu seksual yang membara. Yang bergerak dengan pikiran tanpa perasaan. Jika itu benar, pernahkah membayangkan berapa banyak anak gadis yang akan diminta melayani keinginan seksual dari pemimpin kelompok. Bukankah lebih masuk akal jika kami menggunakan kelebihan kami dalam bidang rasio untuk menipu para wanita dan menjadikan mereka budak kami? Bukankah lebih masuk akal jika kami mengambil keuntungan tanpa memikirkan orang lain?

Tapi kenyataan berkata lain, tidak semua dari kami melakukan hal itu. Tidak semua pria memandang wanita sebagai etalase berjalan, seonggok daging. Memang harus diakui bahwa kami diliputi oleh nafsu seksual yang menggebu, yang seringkali tak bisa kami kontrol. Rasanya semua pria di dunia seperti itu. Termasuk penulis. Penulis mengakui bahwa kaum Adam nampaknya lebih tertarik terhadap hal-hal seperti itu dibandingkan kaum Hawa. Tapi bukan berarti kami bertindak tanpa rasa bersalah. Bukan berarti kami bangga akan apa yang kami lakukan. Bukan berarti kami senang dengan kemampuan kami untuk menelanjangi wanita. Mungkin ada juga yang senang. Tapi sebagian dari kami merasa bersalah. Kami merasa hal itu tidak layak dan tidak benar. Apa mungkin seorang yang tidak mengenal cinta berpikir hingga sejauh itu? Jika kami tidak mengenal cinta bukankah kami akan mementingkan diri sendiri? Tidak merasa bersalah pada orang lain, yang terpenting adalah kepuasan pribadi.

Penulis berpikir bahwa kaum Adam pastilah memiliki perasaan yang disebut sebagai cinta. Karena cinta sendiri berbeda-beda, tergantung objek cinta itu. Hal ini penulis yakini bukan karena penulis adalah seorang pria dan mencoba mempertahankan diri. Penulis yakin bahwa setiap manusia memiliki perasaan dan nafsu. Perasaan sedih, bahagia, senang, mengantuk, lelah, sayang, cinta dan berbagai perasaan lainnya. Penulis yakin pernah dirasakan semua orang. Kemudian nafsu, bukan nafsu dalam definisi sempit seperti nafsu seksual tetapi nafsu secara umum. Penulis yakin bahwa setiap manusia memiliki nafsu. Nafsu dapat didefinisikan sebagai desire. Keinginan yang dimiliki manusia. Penulis merasa bahwa tidak salah seorang manusia memiliki nafsu, tetapi nafsu itu harus dikontrol. Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki nafsu? Harus diakui setiap manusia memiliki nafsu yang satu ini. Nafsu makan. Hanya saja nafsu memiliki pandangan yang lebih negatif dibandingkan dengan keinginan.



Karena aku juga manusia, aku memiliki keinginan. Dan keinginanku adalah untuk dicintai. (Heri, 2011)

Minggu, 23 Januari 2011

Koin 3

Aku selalu bertanya kepadanya apa yang telah ia lakukan sampai saat ini. Mempertanyakan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Bertanya apa tujuan sebenarnya ia melakukan hal ini dan hal itu. Seringkali aku heran kenapa ada orang seperti dia. Dia selalu berusaha sekuat yang ia bisa, seringkali tidak memikirkan diri sendiri. Dirinya selalu berjuang sendiri memegang beban yang seharusnya bisa ia bagikan pada orang lain. Bahkan aku pun jarang sekali mendengar ia meminta tolong. Ia berusaha melakukan segala sesuatu sendiri. Terus meyakinkan bahwa ia bisa melakukannya sendiri, bahwa ia harus menjadi seorang yang kuat, seorang yang tidak bergantung pada orang. Aku pun bertanya pada dirinya,"Kenapa kamu berjuang sekeras ini?" Dan ia pun menjawab,"Karena aku tak menemukan alasan untuk tidak berjuang sekeras mungkin."

Dirinya berjalan sendirian. Ia menatap lurus ke depan dan melihat kondisi di sekelilingnya tapi tak pernah ia melihat ke belakang. Ia tak pernah memerhatikan sisi kiri dan kanannya. Ia berusaha untuk tetap berjalan di tengah. Daerah netral dimana ia bisa melihat segalanya dengan porsi yang sama. Tidak berat sebelah. Aku semakin bingung dengan orang ini. Ia bergerak begitu saja untuk melakukan apa yang ia rasa baik. Mempertaruhkan segalanya di situ. Selalu memikirkan apa yang dapat ia lakukan untuk orang lain. Suatu kali ia pernah berkata,"Ketika aku melakukan sesuatu untuk orang lain, aku dapat melihat senyuman di wajah mereka. Itulah yang paling membahagiakanku." Kemudian aku membalasnya dengan bertanya,"lalu apa yang ingin kamu lakukan? Apa tujuan hidupmu?" Ia terdiam cukup lama hingga aku harus mengulang pertanyaanku. Ia tersenyum dan membalas,"Aku ingin setiap orang menjadi orang yang hebat karena aku percaya setiap orang pasti memiliki kelebihan. Aku ingin membantu mereka menemukan kelebihan itu." Aku terhenyak sebelum aku bertanya lagi kepadanya. "Jadi, apa yang telah kamu lakukan sampai saat ini?"

"Mempersiapkan diriku untuk memahami orang banyak. Menyiapkan diriku untuk bisa membuat orang lain tersenyum. Berkata pada dirinya sendiri kalau ia memiliki sesuatu yang berharga."

Ia berjalan lagi. Sendirian. Aku tak mengerti kenapa ia tak pernah mengajakku. Padahal aku berada sangat dekat dengan dirinya. Aku melihat punggungnya yang semakin menjauh, ia berjalan dengan lambat tapi pasti. Terkadang ia berhenti lama sebelum ia melangkah lagi. Aku terus menatapnya sebelum memutuskan untuk mengejarnya. Beberapa kali ia diam untuk melihat peristiwa-peristiwa yang berlangsung disekitarnya. Ketika itu ia mulai berkomentar. Ia menyatakan apa yang menurutnya benar. Lalu aku menjadi pendengar yang baik. Duduk manis di kursi tinggi. Lengkap dengan penyangga agar aku tidak jatuh. Ia kemudian membandingkan pengalaman yang ia alami dan mulai mengurutkannya. Aku bertanya,"Apa yang kamu lakukan selanjutnya?" Ia diam lagi. Cukup lama, aku bahkan telah selesai melahap bubur yang disediakan sesaat setelah aku bertanya padanya. Hening. Aku hanya mendengar suara air yang sayup-sayup. Hmm... hujan yah? Pikirku. Kemudian aku menatapnya, mencoba menangkap matanya agar ia menjawab. Hei!! Ucapku mencoba menyadarkannya. Cukup berhasil. Jadi? Tanyaku penasaran. "Entah, tapi rasanya aku akan mencoba melakukan yang terbaik jika aku dihadapkan pada suatu masalah. Aku tak mau menyerah sebelum aku mencoba." Kemudian ia menyantap makanan yang ada dihadapanya. Makanan itu datang bersamaan dengan bubur yang telah selesai kulahap tadi. Pasti sudah dingin. Pikirku mengingat hujan telah turun cukup lama dan waktu yang kuhabiskan untuk semangkuk bubur tadi. "Dingin yah?" Ucapnya tiba-tiba.

Waktu berlalu sangat lambat. Mungkin karena faktor cuaca yang mendukung. Ya, hujan masih mengguyur dan kami terjebak disini. Bersama dengan beberapa orang yang nampak tidak peduli. Mereka masih asik mengobrol, entah apa yang mereka bicarakan. Suara hujan ini cukup mengganggu pendengaranku. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatku tak bisa mendengar percakapan orang lain kecuali satu yang sedang semeja denganku. Dan parahnya ia tak bersuara. Hanya pandangannya menatap kosong ke arah jendela. Aku melambaikan tangan tepat di depan wajahnya. Cukup untuk menarik perhatiannya kepadaku. "Apa yang kamu pikirkan?" Ucapku membuka percakapan. "Tidak banyak, aku hanya berpikir pernahkah dirimu mempertanyakan apa tujuanmu selama ini. Kamu tahu? Visi." Hah? Seruku dalam hati. Kenapa mendadak berbicara visi? Kenapa tidak membuka pertanyaan dengan guyonan atau lelucon? Salah satu hal yang kurang kusukai darinya. "Memangnya ada apa? Kamu mau menceritakan visi yang kamu miliki?" Ucapku penasaran. "Tidak, tapi terkadang aku merasa kalau aku tidak bergerak kemana pun. Beberapa kali aku bertanya apa benar ini pantas kulakukan?" Ucapnya, lagi-lagi dengan nada serius. Aneh juga mendengar hal itu dari dirinya, selama ini aku pikir ia berjalan dengan mantap dan tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ternyata tidak juga. "Aku tidak memikirkan visi. Aku menjalani apa yang bisa kujalani sekarang." Ucapku. Suasana menjadi hening kembali. Rasanya tetesan hujan itu bergerak dengan sangat lambat. Kurang dari 5cm per detik. Pikirku dalam hati. Tapi aku menikmati gemercik yang diciptakannya, cukup untuk menulikanku dari percakapan orang disekitar. Hujan turun semakin deras.


"Hujannya lama yah?" Ucapnya memecah fokus.

Dua koin

Semalam aku berbaring dengan seorang teman. Waktu berlalu dengan sangat lambat ketika kami berbincang, ketika kami terdiam. Banyak hal yang melintas di kepalaku. Tentang natal PMK yang baru saja berakhir, ketua panitia yang secara mengejutkan nampak begitu hebat, panitia yang bertumbangan, apa yang telah aku lakukan untuk PMK sampai sekarang, apa yang teman-temanku lakukan untuk PMK hingga saat ini, dan apa yang akan kukatakan. Aku gelisah karena pikiranku berperang, saling hantam satu dengan yang lain. Perasaanku berantakkan, bertabrakkan dengan logika. Bertabrakkan antara yang kuharapkan dan yang telah terjadi. Aku tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik yang mereka berikan. Aku paham kalau yang mereka harapkan adalah yang terbaik. Dan itu semua berbalik memusuhiku. Seperti panah yang langsung diarahkan padaku.

Aku ingin mengatakan apa yang aku anggap baik. Tapi itu semua sudah lewat dan terlambat. Aku ingin membantu. Tapi aku tak disana. Namun, bukan hal itu yang paling membebaniku. Saat ini yang paling membebaniku adalah ketika aku memahami semua itu, aku merasa tak berdaya. Jika kau mengajukkan keberatanku, rasanya kurang pantas. Aku tak pernah masuk ke dalam PMK. Jadi, apa alasanku untuk menghakimi? Siapa diriku hingga mampu mengatakan semua itu? Karena aku mengerti dan tahu mereka telah melakukan yang terbaik.

Di sisi lain aku tak ingin membiarkannya begitu saja. Membiarkan kami jatuh berulan ke jurang yang sama. Apa tidak ada yang berkata kalau ini salah? Aku mencoba merefleksikan apa yang kuterima. Aku mencerna seperti seekor sapi yang memiliki empat lambung hingga kudapat jawabannya. Aku mencerna dan mencerna. Berpikir ulang dalam waktu yang relatif singkat tapi cukup untuk menciptakan medan perang dalam diriku. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tanyaku pada diri sendiri.

Dan ketika aku menulis ini pun, aku merasa ragu. Apa aku perlu menyuarakan ini? Bukankah diam dan berpura-pura tidak ada yang terjadi lebih mudah bagiku? Aku meragukan apa aku tidak melihat dari kacamtaku sendiri. Benarkah aku berkata begini? Apa hal ini bukan karena aku melihat dan mempercayai apa yang ingin aku lihat dan percaya? Konyol.