Minggu, 30 Januari 2011

Nilai seorang mahasiswa

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman meributkan masalah dua digit. Hari ini giliran saya yang bingung karena masalah IP. Minggu lalu, saya berhadapan dengan seorang dosen pengampu Psikologi Lintas Budaya. Kebetulan teman saya yang mengolah data tersebut. Saya ikut menyaksikan bagaimana nilai-nilai Ujian Akhir Semester (UAS) diolah. Di sana saya mendapati nilai C. Bukan nilai yang asing bagi saya. Saya memang bukan orang yang pintar dan sudah beberapa nilai C bertengger di Kartu Hasil Studi (KHS) saya. Teman saya ini menyarankan agar saya memberikan nilai peer rating yang memungkinkan saya untuk mengubah nilai. Awalnya saya berpikir untuk mengubah karena iri dengan teman-teman lain yang memiliki nilai di atas saya. Tapi saya merasa bahwa nilai itu memang pantas untuk saya. Mari perhatikan, saya tidak belajar untuk presentasi dan tidak menuliskan secara jelas jawaban dalam kuis. Pantaskah saya untuk protes? Rasanya tidak.

Kemudian dua orang teman berkata kepada saya untuk mengubah nilai tersebut. Mereka berkata bahwa teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama. Disini saya cukup kaget mendengar yang dikatakan teman saya itu. Jadi, nilai yang terpampang di layar laptop, yang saya pandangi saat ini adalah palsu? Hasil pengangkatan oleh penilaian teman. Kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, kenapa banyak orang yang memandang nilai ini begitu penting? Apa iya mereka tidak bisa hidup kalau ada cacat dalam nilai? Mendapat nilai B/C atau C rasanya bukan akhir dunia. Ok, mungkin saya bisa berkata begini karena sudah ada nilai C yang bertengger di KHS saya. Akhirnya saya memutuskan untuk menemui dosen pengampu Psikologi Lintas Budaya tersebut keesokan harinya.

Singkat cerita, saya berhasil mengubah nilai saya dengan menggunakan peer rating yang saya terima dari empat orang teman saya. Mereka memberi nilai rata-rata yang hampir sama. B. Untuk attractiveness (padahal saya tidak membawa apa pun untuk presentasi) dan untuk penguasaan materi. Dalam hati saya berpikir, mungkin sepantasnya saya protes dan bilang ke dosen tersebut untuk mengubah nilai menjadi D. Kemudian dua teman saya yang mengolah nilai tersebut datang ke kampus untuk mengubah nilai C saya. Kalau tidak salah ingat, porsi nilai yang saya dapat dari attractiveness dan penguasaan materi adalah 80% jika ditotal. Dengan kata lain, jika saya mendapat nilai B, maka saya akan mendapat nilai B juga untuk dipajang di KHS. Kemudian saya juga ingat dengan jelas bahwa nilai saya berubah menjadi B. Nyatanya tidak.

Beberapa hari lewat semenjak perubahan nilai itu. Saya kemudian melihat nilai saya dipampang pada situs resmi fakultas. Dengan rasa penasaran yang pasti dialami oleh semua mahasiswa. Nilai apa saja yang sudah muncul? Disitu saya melihat hanya ada satu nilai. Psikologi Lintas Budaya. Aneh, nilai yang tercetak di sana A/B. Sebagai mahasiswa tentu saya merasa kaget dengan nilai yang muncul ini. Saat itu saya sudah yakin mendapat B.

Saya merasa hal ini tidak benar dan ingin mempertanyakan langsung kepada dosen. Bagaimana mungkin? Saya yang seharusnya mendapat nilai D untuk mata kuliah ini mendadak dijejali dengan nilai A/B. Bertengger sendirian di sana. Nampak sekali kalau ia sedang menantang nilai lain yang belum memunculkan diri. Di tengah kekagetan saya, ada bisikkan yang masuk.
"Sudah tidak perlu diurus lagi, dosen itu pasti lelah dengan masalah nilai yang diperkarakan 1 minggu ini. Lagipula, apa tidak kasihan dengan temanmu yang sudah mengolah data? Mereka sampai kehujanan loh. Lagipula nilaimu bagus loh, sudah tinggi. Kenapa ingin diturunkan?"

Sesaat saya berpikir, mungkin benar. Sebaiknya tidak usah diusut lagi. Terlalu banyak perhatian yang tersita. Terlalu melelahkan harus berurusan dengan angka biner yang menjadi penghubung hidup dan mati beberapa mahasiswa. Di sisi yang lain, saya merasa ini tidak adil. Kenapa mahasiswa seperti saya bisa mendapatkan nilai A/B? Padahal saya tidak berusaha sejauh itu. Saya tidak memberikan yang terbaik sewaktu presentasi. Jadi, saya putuskan untuk menanyakan langsung kepada dosen. Kalau bisa mengubah A/B menjadi B. Saya cukup puas dengan nilai itu. Tidak perlu lebih tinggi.

Belum lama setelah saya mantapkan pilihan. Bisikkan lain mengikuti.
"Kenapa tidak bersyukur? Banyak orang yang menginginkan nilai tinggi itu dan sekarang kamu mencampakkannya begitu saja? Bukankah nilai A/B itu akan membahagiakan orang tuamu? Bukankah kamu ingin orang tuamu bahagia?Ayolah, kapan lagi kamu bisa mendapat nilai A/B?"

Saya kembali terhenyak. Benar. Selama ini nilai saya tidak memuaskan. Benar. Saya ingin membahagiakan orang tua. Ya, saya mengakui sebagai manusia. Sebagai seorang mahasiswa. Saya membutuhkan nilai A/B itu. Saya menyadari itu sebagai kebutuhan. Agar dapat mendapatkan pekerjaan layak. Agar mendongkrak nilai. Agar bisa membahagiakan orang tua. Tapi bukan dengan cara itu. Bukan dengan mengelabui semua orang termasuk diri sendiri. Membanggakan diri dengan nilai tinggi tanpa kerja keras rasanya tak pantas. Ya, aku membutuhkan nilai itu. Tapi dengan kemampuanku sendiri. Setiap kali melihat teman-teman yang berusaha keras atau mendapat nilai baik seringkali terlintas,"Kenapa saya tidak berjuang lebih keras?"

Kemudian saya mengangkat kepala. Menyadari bahwa diri saya pun menginginkan nilai. Saya sombong dan angkuh. Tapi, sudah saya bulatkan tekad untuk mengubah nilai saya ke nilai seharusnya. B. Walau pasti akan sulit menemui dosen dan mengubah nilai tersebut. Seoran pernah berkata,"Lakukanlah apa yang menurut kamu benar. Mungkin tidak ada alasan logis atau hal itu dianggap tidak wajar oleh orang lain. Tetapi itu berarti jujur kepada diri sendiri."

Saat ini saya masih kebingungan dengan langkah yang akan saya ambil. Mengubah atau tidak. Saya tidak seratus persen yakin bahwa hal ini baik untuk dilakukan. Tapi saya juga tidak bisa diam melihat nilai saya yang tidak pantas itu.

One does not become enlightened by imagining figures of light, but by making the darkness conscious.
-Carl. G. Jung-

Kamis, 27 Januari 2011

Valentine's -David Choi-



I see a couple strollin' down the street
They're so in love,
There is not a worry
And to the clock they said goodbye
They ain't in a hurry

And sometimes I feel kind of lonely
Ask myself where is my one and only
Until she comes to me, I'll wait
Until then I shouldn't be feeling this way

Won't let no Valentine's get me down
Or when Christmas time comes around
Just cuz I'm alone right now
Don't mean I should hold a frown

Oh in the meantime love is here you'll find
The simple things that slip your mind
The joy of hope for better days
You know that love can find its ways

When you finally find the one who you can call your own
You can tell yourself the wait was worth it all
Cuz you got something here to last forever

I can smile cuz there's so much in store
The future holds for me more than I will ever know
Shouldn't make no room for feeling sad

Won't let no Valentine's get me down
Or when Christmas time comes around
Just cuz I'm alone right now
Don't mean I should hold a frown

Oh in the meantime love is here you'll find
The simple things that slip your mind
The joy of hope for better days
You know that love can find its ways

Won't let no Valentine's get me down
Or when Christmas time comes around
Just cuz I'm alone right now
Don't mean I should hold a frown

Oh in the meantime love is here you'll find
The simple things that slip your mind
The joy of hope for better days
You know that love can find its ways

Senin, 24 Januari 2011

Robot atau alien?

"Are you robot or an alien?"

Pertanyaan yang menghenyakkanku beberapa menit yang lalu. Pertanyaan ini kudengar dari salah satu film Barat. Aku baru saja menyadari makna yang terkandung di dalam pertanyaan konyol ini.

Robot. Sebuah benda yang diciptakan manusia. Bergerak menurut program yang telah mengaturnya. Tidak memiliki keinginan dan tujuan hidup selain melakukan apa yang menjadi programnya. Dalam film, biasanya robot diproduksi secara massal. Robot-robot ini disimbolkan sebagai orang-orang yang menuruti aturan tanpa tahu aturan itu benar atau salah. Bahayanya adalah karena mereka ternyata berada disekitar kita. Tanpa kita sadari mungkin kita adalah salah satunya. Pola pikir kita yang tidak kritis membuat kita bergerak layaknya robot. Apa yang kita lakukan nampak sebagai rutinitas. Hidup kita bagai program. Sekolah, mencari kerja, menikah, memiliki anak, dan meninggal. Selalu berurutan seperti itu. Kemudian ketika ditanyai tujuan hidup, mengenai visi, ia akan bingung. Karena hidup yang berlalu begitu saja, tanpa tujuan, tanpa arah. Semua nampak seperti rutinitas belaka.

Alien. Sosok makhluk asing yang belum pernah ditemui sebelumnya,. Makhluk yang benar-benar baru. Sosok ini sering digambarkan sebagai sosok yang ingin mengubah dunia manusia menjadi dunia yang mereka inginkan. Mereka memiliki sebuah tujuan yang jelas. Penaklukan. Penguasaan. Dan yang terpenting perubahan sistem. Seringkali robot dan alien ini berkonfrontasi. Kubu yang ingin mengubah dan kubu yang ingin bertahan. Alien dapat kita analogikan sebagai seorang revolusioner. Seorang yang memiliki cara pandang berbeda dari sekitarnya. Seorang teman berkata kepadaku bahwa orang dengan idealisme adalah orang yang kesepian. Begitu juga alien ini, ia datang sendiri. Mencoba mengubah dunia yang baru menjadi tempat yang mereka anggap lebih layak.

Nampaknya hal ini lebih mudah jika diibaratkan dalam sebuah narasi. Suatu waktu di masa depan. Bumi telah dipenuhi oleh robot. mereka bekerja menggantikan manusia. Bahkan keberadaannya sering menggantikan manusia sendiri. Hal ini diakibatkan jumlah manusia yang sedikit karena perubahan cuaca yang drastis dan berdampak pada kematian massal manusia tiap tahunnya. Kemudian untuk memenuhi jumlah quota pekerja, manusia menciptakan robot. Karena robot lebih mudah untuk diminta bekerja sesuai dengan program. Kemudian datang Alien dari luar angkasa yang menyerang Bumi dan ingin mengubahnya menjadi tempat yang menurut mereka baik. Alien ini terpisah-pisah. Merasa dirinya berjuang sendirian. Akhirnya mereka memunculkan pengikut-pengikut baru. Anak-anak alien yang lucu dan menggemaskan. Kemudian alien ini mulai menyerang ditempat-tempat berbeda. Banyak dari serangan tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan karena mereka kalah dalam jumlah berbanding robot yang memenuhi Bumi. Sebagian lain berhasil tetapi tidak dapat menguasai Bumi karena tidak ada penerus yang dapat melanjutkan. Dan Bumi kembali diliputi robot-robot yang "menguasai" Bumi. Bukankah selalu seperti itu dalam film?


"Are you robot or an alien?"

It's level up time!!

Respon terhadap dua digitnya saya heran...

Sewaktu aku kecil tanteku berkata bahwa aku haruslah ranking satu. Ia berpesan kalau aku haruslah menjadi yang terbaik. Ia juga berkata bahwa nilai berdigit dua itu yang menjadi tujuanku belajar. Kemudian aku yang masih kecil dan sangat polos menjawab dengan pasti,"Ah tidak apa-apa, kalau tidak dapat ranking satu yang penting naik kelas." Saat itu aku masih sekitar dua SD. Aku berpikir bahwa jika aku tidak memahami pelajaran yang diajarkan tidak akan ada artinya aku mendapat rangking teratas. Namun, tanteku bersikeras bahwa aku haruslah rangking pertama. Sebagai anak kecil polos yang masih bergantung pada orang dewasa, aku mengiyakan. Namun, perasaanku berontak. Aku berpikir bahwa mendapatkan ranking pertama bukanlah tujuanku bersekolah. Motivasiku bersekolah saat itu adalah karena aku dapat menemukan hal baru mengenai dunia ini, aku menemukan bahwa belajar itu menyenangkan! Banyak hal yang ternyata tidak kuketahui.

Banyak dari antara teman-temanku yang mengatakan bahwa sekolah membosankan dan menyebalkan. Aku hanya mengiyakan apa yang mereka katakan tapi tidak berkata bahwa menurutku sekolah menyenangkan. Setiap aku naik kelas aku mendapatkan tantangan baru. Seperti melanjutkan ke tingkat dalam sebuah game. Pelajaran yang kuterima aku anggap sebagai experience yang harus kudapatkan untuk bisa meningkatkan level. Aku tak pernah mengatakan hal ini kepada temanku karena mereka akan menganggapku sok rajin, anak pintar, anak alim, dan sebutan lain yang membuatku tidak nyaman. Aku merasa berbeda saat itu. Kini sudah belasan tahun lewat dari masa itu. Aku menemukan masalah yang sama. Ketika dua digit yang diberikan oleh dosen seperti pernyataan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Awalnya aku juga merasa bahwa dua digit itu penting. Sebelum akhirnya pada semester satu, aku merasa bahwa aku harus memiliki nilai yang baik. Tetapi semua segera berubah, aku tersadar bahwa bukan itu yang aku cari dalam perkuliahan. Yang aku cari adalah seorang yang dapat memberikanku experience yang cukup bagiku agar bisa maju ke level selanjutnya. Mencari nilai bukan tujuan utamanya. Aku merasa kecewa dengan nilaiku yang kurang memuaskan, rasanya semua orang seperti itu. Memang nilai itu akan menjadi penilaian dalam mencari kerja, tapi itu semua akan hilang dalam sekejap. Aku maju sejauh ini dan berusaha menutup telinga atas apa yang mereka katakan mengenai nilai. Nilai itu penting tapi jangan menjadi yang terpenting. Jika berkuliah untuk mendapatkan nilai, bisa saja meminta dosen memberikan nilai A atau berapa pun yang diinginkan. Nilai itu didapat dari kemampuan. Mungkin yang tidak baik bukan nilai yang kita dapat tetapi sistem yang membuat nilai itu muncul. Kemudian sebuah pertanyaan muncul dikepalaku, adakah orang lain diluar sana yang mempertanyakan dua digit itu?

Desire for Love

Pernah seorang teman berkata bahwa cinta seorang pria didasari oleh nafsu. Tidak ada definisi cinta bagi kaum Adam. Bagi kami, yang ada hanya hasrat seksual yang menggebu-gebu. Yang kami lihat hanya keindahan tubuh wanita-wanita seksi yang setiap hari berjalan di area perkotaan maupun desa. Seperti halnya etalase berjalan, kami mulai melirik dan menelusuri lekuk tubuh yang berjalan di sekitar kami. Seonggok daging yang dikatakan seksi. Itulah yang kami lihat dari wanita, terlepas dari apakah mereka memakai pakaian wajar atau tidak. Kami tidak memiliki mata super seperti Superman atau peralatan canggih layaknya Superhero. Tapi kami mampu menelanjangi mereka hanya dengan menatapnya. Kami diberikan kemampuan untuk melakukan hal itu. Bukankah pria lebih imajinatif dalam hal-hal seperti ini? Tentu tidak ada yang meragukan kemampuan kami dalam hal mengingat jalan, memperhitungkan arah, hingga membuat gambar abstrak. Menelanjangi mereka rasanya bukan hal yang sulit. Lalu, penulis mempertanyakan sisi manusia dari makhluk yang kelak akan membimbing sebuah keluarga ini. Sosok yang akan jadi panutan dan dihormati di dalam sebuah keluarga. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang normal dengan akal sehatnya, tidak menolak ketika dibimbing oleh sosok tak berperasaan yang diliputi nafsu seksual?

Seringkali kami dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang lebih mengandalkan pikiran kami daripada perasaan. Dianggap tidak peka dan sebagainya. Lalu kenapa banyak orang memilih kami sebagai kepala? Bukankah kami adalah makhluk yang tidak mengenal arti kata cinta? Yang bergerak dengan nafsu seksual yang membara. Yang bergerak dengan pikiran tanpa perasaan. Jika itu benar, pernahkah membayangkan berapa banyak anak gadis yang akan diminta melayani keinginan seksual dari pemimpin kelompok. Bukankah lebih masuk akal jika kami menggunakan kelebihan kami dalam bidang rasio untuk menipu para wanita dan menjadikan mereka budak kami? Bukankah lebih masuk akal jika kami mengambil keuntungan tanpa memikirkan orang lain?

Tapi kenyataan berkata lain, tidak semua dari kami melakukan hal itu. Tidak semua pria memandang wanita sebagai etalase berjalan, seonggok daging. Memang harus diakui bahwa kami diliputi oleh nafsu seksual yang menggebu, yang seringkali tak bisa kami kontrol. Rasanya semua pria di dunia seperti itu. Termasuk penulis. Penulis mengakui bahwa kaum Adam nampaknya lebih tertarik terhadap hal-hal seperti itu dibandingkan kaum Hawa. Tapi bukan berarti kami bertindak tanpa rasa bersalah. Bukan berarti kami bangga akan apa yang kami lakukan. Bukan berarti kami senang dengan kemampuan kami untuk menelanjangi wanita. Mungkin ada juga yang senang. Tapi sebagian dari kami merasa bersalah. Kami merasa hal itu tidak layak dan tidak benar. Apa mungkin seorang yang tidak mengenal cinta berpikir hingga sejauh itu? Jika kami tidak mengenal cinta bukankah kami akan mementingkan diri sendiri? Tidak merasa bersalah pada orang lain, yang terpenting adalah kepuasan pribadi.

Penulis berpikir bahwa kaum Adam pastilah memiliki perasaan yang disebut sebagai cinta. Karena cinta sendiri berbeda-beda, tergantung objek cinta itu. Hal ini penulis yakini bukan karena penulis adalah seorang pria dan mencoba mempertahankan diri. Penulis yakin bahwa setiap manusia memiliki perasaan dan nafsu. Perasaan sedih, bahagia, senang, mengantuk, lelah, sayang, cinta dan berbagai perasaan lainnya. Penulis yakin pernah dirasakan semua orang. Kemudian nafsu, bukan nafsu dalam definisi sempit seperti nafsu seksual tetapi nafsu secara umum. Penulis yakin bahwa setiap manusia memiliki nafsu. Nafsu dapat didefinisikan sebagai desire. Keinginan yang dimiliki manusia. Penulis merasa bahwa tidak salah seorang manusia memiliki nafsu, tetapi nafsu itu harus dikontrol. Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki nafsu? Harus diakui setiap manusia memiliki nafsu yang satu ini. Nafsu makan. Hanya saja nafsu memiliki pandangan yang lebih negatif dibandingkan dengan keinginan.



Karena aku juga manusia, aku memiliki keinginan. Dan keinginanku adalah untuk dicintai. (Heri, 2011)

Minggu, 23 Januari 2011

Koin 3

Aku selalu bertanya kepadanya apa yang telah ia lakukan sampai saat ini. Mempertanyakan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Bertanya apa tujuan sebenarnya ia melakukan hal ini dan hal itu. Seringkali aku heran kenapa ada orang seperti dia. Dia selalu berusaha sekuat yang ia bisa, seringkali tidak memikirkan diri sendiri. Dirinya selalu berjuang sendiri memegang beban yang seharusnya bisa ia bagikan pada orang lain. Bahkan aku pun jarang sekali mendengar ia meminta tolong. Ia berusaha melakukan segala sesuatu sendiri. Terus meyakinkan bahwa ia bisa melakukannya sendiri, bahwa ia harus menjadi seorang yang kuat, seorang yang tidak bergantung pada orang. Aku pun bertanya pada dirinya,"Kenapa kamu berjuang sekeras ini?" Dan ia pun menjawab,"Karena aku tak menemukan alasan untuk tidak berjuang sekeras mungkin."

Dirinya berjalan sendirian. Ia menatap lurus ke depan dan melihat kondisi di sekelilingnya tapi tak pernah ia melihat ke belakang. Ia tak pernah memerhatikan sisi kiri dan kanannya. Ia berusaha untuk tetap berjalan di tengah. Daerah netral dimana ia bisa melihat segalanya dengan porsi yang sama. Tidak berat sebelah. Aku semakin bingung dengan orang ini. Ia bergerak begitu saja untuk melakukan apa yang ia rasa baik. Mempertaruhkan segalanya di situ. Selalu memikirkan apa yang dapat ia lakukan untuk orang lain. Suatu kali ia pernah berkata,"Ketika aku melakukan sesuatu untuk orang lain, aku dapat melihat senyuman di wajah mereka. Itulah yang paling membahagiakanku." Kemudian aku membalasnya dengan bertanya,"lalu apa yang ingin kamu lakukan? Apa tujuan hidupmu?" Ia terdiam cukup lama hingga aku harus mengulang pertanyaanku. Ia tersenyum dan membalas,"Aku ingin setiap orang menjadi orang yang hebat karena aku percaya setiap orang pasti memiliki kelebihan. Aku ingin membantu mereka menemukan kelebihan itu." Aku terhenyak sebelum aku bertanya lagi kepadanya. "Jadi, apa yang telah kamu lakukan sampai saat ini?"

"Mempersiapkan diriku untuk memahami orang banyak. Menyiapkan diriku untuk bisa membuat orang lain tersenyum. Berkata pada dirinya sendiri kalau ia memiliki sesuatu yang berharga."

Ia berjalan lagi. Sendirian. Aku tak mengerti kenapa ia tak pernah mengajakku. Padahal aku berada sangat dekat dengan dirinya. Aku melihat punggungnya yang semakin menjauh, ia berjalan dengan lambat tapi pasti. Terkadang ia berhenti lama sebelum ia melangkah lagi. Aku terus menatapnya sebelum memutuskan untuk mengejarnya. Beberapa kali ia diam untuk melihat peristiwa-peristiwa yang berlangsung disekitarnya. Ketika itu ia mulai berkomentar. Ia menyatakan apa yang menurutnya benar. Lalu aku menjadi pendengar yang baik. Duduk manis di kursi tinggi. Lengkap dengan penyangga agar aku tidak jatuh. Ia kemudian membandingkan pengalaman yang ia alami dan mulai mengurutkannya. Aku bertanya,"Apa yang kamu lakukan selanjutnya?" Ia diam lagi. Cukup lama, aku bahkan telah selesai melahap bubur yang disediakan sesaat setelah aku bertanya padanya. Hening. Aku hanya mendengar suara air yang sayup-sayup. Hmm... hujan yah? Pikirku. Kemudian aku menatapnya, mencoba menangkap matanya agar ia menjawab. Hei!! Ucapku mencoba menyadarkannya. Cukup berhasil. Jadi? Tanyaku penasaran. "Entah, tapi rasanya aku akan mencoba melakukan yang terbaik jika aku dihadapkan pada suatu masalah. Aku tak mau menyerah sebelum aku mencoba." Kemudian ia menyantap makanan yang ada dihadapanya. Makanan itu datang bersamaan dengan bubur yang telah selesai kulahap tadi. Pasti sudah dingin. Pikirku mengingat hujan telah turun cukup lama dan waktu yang kuhabiskan untuk semangkuk bubur tadi. "Dingin yah?" Ucapnya tiba-tiba.

Waktu berlalu sangat lambat. Mungkin karena faktor cuaca yang mendukung. Ya, hujan masih mengguyur dan kami terjebak disini. Bersama dengan beberapa orang yang nampak tidak peduli. Mereka masih asik mengobrol, entah apa yang mereka bicarakan. Suara hujan ini cukup mengganggu pendengaranku. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatku tak bisa mendengar percakapan orang lain kecuali satu yang sedang semeja denganku. Dan parahnya ia tak bersuara. Hanya pandangannya menatap kosong ke arah jendela. Aku melambaikan tangan tepat di depan wajahnya. Cukup untuk menarik perhatiannya kepadaku. "Apa yang kamu pikirkan?" Ucapku membuka percakapan. "Tidak banyak, aku hanya berpikir pernahkah dirimu mempertanyakan apa tujuanmu selama ini. Kamu tahu? Visi." Hah? Seruku dalam hati. Kenapa mendadak berbicara visi? Kenapa tidak membuka pertanyaan dengan guyonan atau lelucon? Salah satu hal yang kurang kusukai darinya. "Memangnya ada apa? Kamu mau menceritakan visi yang kamu miliki?" Ucapku penasaran. "Tidak, tapi terkadang aku merasa kalau aku tidak bergerak kemana pun. Beberapa kali aku bertanya apa benar ini pantas kulakukan?" Ucapnya, lagi-lagi dengan nada serius. Aneh juga mendengar hal itu dari dirinya, selama ini aku pikir ia berjalan dengan mantap dan tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ternyata tidak juga. "Aku tidak memikirkan visi. Aku menjalani apa yang bisa kujalani sekarang." Ucapku. Suasana menjadi hening kembali. Rasanya tetesan hujan itu bergerak dengan sangat lambat. Kurang dari 5cm per detik. Pikirku dalam hati. Tapi aku menikmati gemercik yang diciptakannya, cukup untuk menulikanku dari percakapan orang disekitar. Hujan turun semakin deras.


"Hujannya lama yah?" Ucapnya memecah fokus.

Dua koin

Semalam aku berbaring dengan seorang teman. Waktu berlalu dengan sangat lambat ketika kami berbincang, ketika kami terdiam. Banyak hal yang melintas di kepalaku. Tentang natal PMK yang baru saja berakhir, ketua panitia yang secara mengejutkan nampak begitu hebat, panitia yang bertumbangan, apa yang telah aku lakukan untuk PMK sampai sekarang, apa yang teman-temanku lakukan untuk PMK hingga saat ini, dan apa yang akan kukatakan. Aku gelisah karena pikiranku berperang, saling hantam satu dengan yang lain. Perasaanku berantakkan, bertabrakkan dengan logika. Bertabrakkan antara yang kuharapkan dan yang telah terjadi. Aku tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik yang mereka berikan. Aku paham kalau yang mereka harapkan adalah yang terbaik. Dan itu semua berbalik memusuhiku. Seperti panah yang langsung diarahkan padaku.

Aku ingin mengatakan apa yang aku anggap baik. Tapi itu semua sudah lewat dan terlambat. Aku ingin membantu. Tapi aku tak disana. Namun, bukan hal itu yang paling membebaniku. Saat ini yang paling membebaniku adalah ketika aku memahami semua itu, aku merasa tak berdaya. Jika kau mengajukkan keberatanku, rasanya kurang pantas. Aku tak pernah masuk ke dalam PMK. Jadi, apa alasanku untuk menghakimi? Siapa diriku hingga mampu mengatakan semua itu? Karena aku mengerti dan tahu mereka telah melakukan yang terbaik.

Di sisi lain aku tak ingin membiarkannya begitu saja. Membiarkan kami jatuh berulan ke jurang yang sama. Apa tidak ada yang berkata kalau ini salah? Aku mencoba merefleksikan apa yang kuterima. Aku mencerna seperti seekor sapi yang memiliki empat lambung hingga kudapat jawabannya. Aku mencerna dan mencerna. Berpikir ulang dalam waktu yang relatif singkat tapi cukup untuk menciptakan medan perang dalam diriku. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tanyaku pada diri sendiri.

Dan ketika aku menulis ini pun, aku merasa ragu. Apa aku perlu menyuarakan ini? Bukankah diam dan berpura-pura tidak ada yang terjadi lebih mudah bagiku? Aku meragukan apa aku tidak melihat dari kacamtaku sendiri. Benarkah aku berkata begini? Apa hal ini bukan karena aku melihat dan mempercayai apa yang ingin aku lihat dan percaya? Konyol.