Minggu, 18 September 2011

Untuk Aku, yang lain

Apa yang bisa kita bagikan untuk anak cucu kita nanti? Pernahkah terpikir apa yang akan kita wariskan kepada mereka saat usia mereka menjadi dewasa? Saat seusia kita saat ini, mungkinkah mereka melangkah mengikuti kita? Terjatuh ke dalam jurang yang sama. Seperti kambing-kambing yang melakukan bunuh diri massal dengan melompat ke jurang. Kegagalan demi kegagalan, setiap luka yang telah kita terima, berbagai langkah bodoh yang kita ambil, demi kesenangan sesaat, dan setiap paradigma konyol yang kita ciptakan. Perlukah mereka melalui itu semua? Semua kembali ke titik nol. Manusia tidak pernah berubah, semakin hari semakin buruk. Setiap generasi yang ada bukan membaik tetapi mempersulit keadaan hingga di titik dimana mereka tidak bisa kembali.

"Aku terluka! Aku merasakan sakit! Aku diperlakukan tidak adil! Aku tidak terima diperlakukan begini! Semua melakukannya, kenapa Aku tidak boleh? Aku ingin orang lain merasakan yang aku rasakan! Aku, aku, aku!"

Persetan dengan Aku. Ya, aku terluka lantas apa? Apa itu berarti Aku berhak menyakiti orang lain hingga lebih parah dari diriku? Lalu apa bedanya Aku dengan orang yang telah membuatku terluka?

Aku merasakan sakit! Oh, sakit? Bagus lah, setidaknya Aku masih memiliki perasaan. Karena aku tahu mana perlakuan yang membuatku sakit dan mana yang tidak, bukan kah itu sesuatu yang perlu disyukuri?

Aku diperlakukan tidak adil! Memangnya siapakah Aku hingga dapat menentukan keadilan itu? Apa itu bukan dari perspektif Aku saja? Hasil dari pemahaman yang tidak utuh dari keadaan dan kondisi yang ada.

Semua melakukannya, kenapa Aku tidak boleh?! Bukan kah tindakan itu tidak baik? Bukan kah apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang disebut salah? Lalu, kenapa Aku mau melakukan kesalahan itu? Setiap Aku melakukan sesuatu yang salah akan ada yang terluka. Pahit.

Aku ingin orang lain merasakan apa yang Aku rasakan! Kalau begitu datanglah dan bercerita. Tidak baik menyembunyikannya sendiri. Kesesakkan akan mencekik secara perlahan hingga akhirnya Aku kehilangan perasaaan dan memandang orang lain tidak seperti semestinya. Menambah jumlah mata rantai yang perlu diputus.

Mata rantai kesakitan. Kepedihan dan Kesakitan selalu ada, tapi selalu ada sisi positif dari semuanya itu. Sebuah cerita yang perlu Aku bagikan untuk temanku yang tengah kesakitan. Kekuatan bagi mereka yang lelah berharap.

Hidup tidak berhenti ketika Aku terjatuh terjelembab. Hidup tidak akan berhenti sebelum Aku menyerah. Hidup lah, untuk sosok Aku yang lainnya. Aku yang membutuhkan orang untuk memahami perasaannya. Aku yang kesakitan, terluka, dan merasa diperlakukan tidak adil. Hidup lah dan katakan bagaimana Aku dapat selamat hingga ke tempat ini,bertemu sosok Aku yang lainnya.

Menjadi Pahlawan

Suatu kali aku menonton sebuah film komedi superhero yang judulnya tidak saya ketahui. Film itu berisi parodi dari film superhero, mulai dari spiderman, batman, x-men bahkan fantastic four. Film itu bercerita tentang seorang muda yang bersikeras bahwa dirinya tidak dapat menjadi pahlawan. Si karakter utama ini mengatakan bahwa diarinya ingin hidup dengan normal, terlepas dari harapan kedua orang tuanya yang sudah almarhum, terlepas dari dirinya yang digigit seekor capung mutan.

Ditengah film konyol yang nampak tidak berisi itu, ada sebuah pertanyaan yang meluncur. Bagaimana caranya menjadikan diri sebagai pahlawan? Hmmm. Menjadi pahlawan? Konyol sekali. Pikirku dengan pikiran sinis. Tidak ada seorang pun yang bisa menjadi pahlawan atas kemauannya sendiri. Bahkan jika dia memiliki kemampuan super yang mendukungnya menjadi pahlawan. Menjadi pahlawan tidak lah semata-mata ketika kita melompat ke kobaran api dan menyelamatkan orang yang ada disana. Tidak sesederhana dengan tindakan menolong yang kita lakukan. Tetapi ada yang lebih dalam yang seringkali kita lupakan dalam serial superhero. Karakter yang nampak tidak penting tetapi berperan besar dalam munculnya si pahlawan ini.

Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan dua oknum. Pertama, oknum ditolong dan oknum penolong. Oknum penolong ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian yang pas, tidak terlalu tinggi juga terlalu rendah. Orang-orang ini bertindak karena ada sebuah dorongan dalam diri mereka yang membuat akhirnya membangkitkan rasa untuk menolong oknum ditolong.

Oknum ditolong adalah orang-orang yang sedang berada dalam masalah. Oknum ditolong adalah objek penderita yang mengalami sebuah masalah dan membutuhkan pertolongan. Di sinilah seorag pahlawan dapat muncul. Tergantung dari bantuan yang diberikan oleh oknum penolong maka respon dari oknum ditolong dapat berbeda. Mulai dari yang paling positif hingga paling negatif. Salah satunya adalah menjadikan oknum penolong sebagai pahlawan. Hal ini dilakukan oleh oknum ditolong. Tentunya akan konyol jika oknum penolong berkata I am My savior. Tetapi jika dilihat dari oknum ditolong kata-kata yang muncul adalah You are My savior. Jadi, dari sini dapat dilihat bahwa seseorang dapat menjadi pahlawan jika oknum ditolong menyatakan hal tersebut.

Ini membawa saya ke dalam perenungan yang lebih mendalam. Sebagai manusia kita harus mengakui bahwa diri kita tidak dapat lepas dari masalah. Dengan begitu, selamanya manusia adalah oknum ditolong. Jika demikian, kita memerlukan oknum penolong dalam hidup kita. Oknum yang dapat menjadi figur pahlawan. Sosok yang dirinya sendiri tidak memerlukan oknum penolong. Bukan kah begitu?

Adiksi menulis

Menulis. Sudah lebih dari dua bulan tidak kulakukan kegiatan itu. Rasanya seperti terlepas dari peredaran. Tidak ada yang bisa dinyatakan, tidak ada yang tersampaikan. Hanya musik mp3 yang terdengar dari kamarku. Berteriak ke dunia luar tentang apa yang aku rasakan dan alami. Teriakkan yang bisu. Saat ini aku bahkan tak tahu apa yang tengah aku tulisankan. Apa yang akan terlahir dari cuap-cuap jemari di tuts keyboard ini. Tidak ada arah, tak ada tujuan. Hanya memuaskan diri dengan untaian kata. Berbincang dengan layar LCD yang menatap secara langsung. Seandainya aku dapat berbicara dengan lebih berani dan lantang, tentunya saat ini tak akan ada tulisan ini.

Menulis, seperti sebuah candu bagiku saat ini. Setiap harinya ada saja yang ingin aku bahasakan tapi tak tahu harus bagaimana. Setiap pengalaman dan pemikiran yang muncul ingin kubahasakan. Ingin kutukar dengan pengalaman orang lain. Semakin hari perasaan ini makin menggerogoti, terasa sesak. Seperti udara telah direnggut dari hidupmu, sebuah kesesakkan yang tak tergambarkan. Ingin berteriak meminta tolong rasanya tidak mungkin. Aneh.

Ya, sepertinya tidak ada yang dapat menggambarkan keinginanku menulis selain yang telah aku nyatakan. Biar kalimat ini terus membisikkan yang tak kuucap. Jadilah tulisan ini sebagai nafasku, jadikan tulisan ini sebagai medan pemaknaan baru dalam dunia yang akan ku hadapi selanjutna. Sebuah track record, teman seperjalanan yang dapat kuandalkan dan selalu mendengar. Rasakanlah, hela nafas yang aku bahasakan. Pengalaman hidup, pemikiran, cerita, impian, dan kehidupan.