Rabu, 10 November 2010

Udara

Udara. Berlarian disekitarku dengan langkah kecilnya ia berputar dan menari-nari. Ku sapa dirinya dengan salam hangat dari seorang sahabat, Selamat pagi udara, hari ini kamu mau kemana?"

Hai udara, bisakah kau mengirimkan salam ku ini? Kepada seorang temanku yang bodoh dan selalu berlarian mencari tempat berlindung. Kepada temanku yang berputar-putar gelisah di kolong langit. Kepada kawanku yang tak pernah belajar. Kepada saudaraku yang sedang bertarung di medan perang sana. Katakan pada mereka bahwa tidak ada seorang yang benar-benar sendiri. Katakan pada mereka bahwa aku tak bisa membantu mereka karena ada tembok yang memisahkan diriku dengannya. Katakan padanya kalau ia tak perlu berlagak kuat untuk berhadapan dengan raksasa di hadapannya. Katakan juga padanya untuk berjalan maju walau ada kalanya ia harus duduk dan melihat ke belakang.

Udara. Aku rasa saat ini tak ada yang bisa kulakukan selain berusaha sebisaku. Aku ingin berbicara padanya saat ini, ada sesuatu yang ingin kuubah pada diriku. Ada sesuatu yang ingin kukatan pada dirinya yang jauh disana. Udara, sampaikanlah bisikan ini. Andai aku menjadi udara dapatkah aku mengatakannya langsung kepada ia? Ada yang ingin kukatakan. Udara, sampaikanlah rasa sesak di dadaku setiap mengingatnya, rasa marah yang muncul ketika tak mampu menerima dirinya, emosi pedih yang kurasa karena kenyataan bahwa aku menciptakan tembok antar aku dengan dia, kebencian terhadap diriku karena aku marah padanya, sampaikanlah aku ingin minta maaf. Katakan bahwa aku ingin berkawan dengannya karena tak mampu untukku menatapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar