Minggu, 23 Januari 2011

Koin 3

Aku selalu bertanya kepadanya apa yang telah ia lakukan sampai saat ini. Mempertanyakan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Bertanya apa tujuan sebenarnya ia melakukan hal ini dan hal itu. Seringkali aku heran kenapa ada orang seperti dia. Dia selalu berusaha sekuat yang ia bisa, seringkali tidak memikirkan diri sendiri. Dirinya selalu berjuang sendiri memegang beban yang seharusnya bisa ia bagikan pada orang lain. Bahkan aku pun jarang sekali mendengar ia meminta tolong. Ia berusaha melakukan segala sesuatu sendiri. Terus meyakinkan bahwa ia bisa melakukannya sendiri, bahwa ia harus menjadi seorang yang kuat, seorang yang tidak bergantung pada orang. Aku pun bertanya pada dirinya,"Kenapa kamu berjuang sekeras ini?" Dan ia pun menjawab,"Karena aku tak menemukan alasan untuk tidak berjuang sekeras mungkin."

Dirinya berjalan sendirian. Ia menatap lurus ke depan dan melihat kondisi di sekelilingnya tapi tak pernah ia melihat ke belakang. Ia tak pernah memerhatikan sisi kiri dan kanannya. Ia berusaha untuk tetap berjalan di tengah. Daerah netral dimana ia bisa melihat segalanya dengan porsi yang sama. Tidak berat sebelah. Aku semakin bingung dengan orang ini. Ia bergerak begitu saja untuk melakukan apa yang ia rasa baik. Mempertaruhkan segalanya di situ. Selalu memikirkan apa yang dapat ia lakukan untuk orang lain. Suatu kali ia pernah berkata,"Ketika aku melakukan sesuatu untuk orang lain, aku dapat melihat senyuman di wajah mereka. Itulah yang paling membahagiakanku." Kemudian aku membalasnya dengan bertanya,"lalu apa yang ingin kamu lakukan? Apa tujuan hidupmu?" Ia terdiam cukup lama hingga aku harus mengulang pertanyaanku. Ia tersenyum dan membalas,"Aku ingin setiap orang menjadi orang yang hebat karena aku percaya setiap orang pasti memiliki kelebihan. Aku ingin membantu mereka menemukan kelebihan itu." Aku terhenyak sebelum aku bertanya lagi kepadanya. "Jadi, apa yang telah kamu lakukan sampai saat ini?"

"Mempersiapkan diriku untuk memahami orang banyak. Menyiapkan diriku untuk bisa membuat orang lain tersenyum. Berkata pada dirinya sendiri kalau ia memiliki sesuatu yang berharga."

Ia berjalan lagi. Sendirian. Aku tak mengerti kenapa ia tak pernah mengajakku. Padahal aku berada sangat dekat dengan dirinya. Aku melihat punggungnya yang semakin menjauh, ia berjalan dengan lambat tapi pasti. Terkadang ia berhenti lama sebelum ia melangkah lagi. Aku terus menatapnya sebelum memutuskan untuk mengejarnya. Beberapa kali ia diam untuk melihat peristiwa-peristiwa yang berlangsung disekitarnya. Ketika itu ia mulai berkomentar. Ia menyatakan apa yang menurutnya benar. Lalu aku menjadi pendengar yang baik. Duduk manis di kursi tinggi. Lengkap dengan penyangga agar aku tidak jatuh. Ia kemudian membandingkan pengalaman yang ia alami dan mulai mengurutkannya. Aku bertanya,"Apa yang kamu lakukan selanjutnya?" Ia diam lagi. Cukup lama, aku bahkan telah selesai melahap bubur yang disediakan sesaat setelah aku bertanya padanya. Hening. Aku hanya mendengar suara air yang sayup-sayup. Hmm... hujan yah? Pikirku. Kemudian aku menatapnya, mencoba menangkap matanya agar ia menjawab. Hei!! Ucapku mencoba menyadarkannya. Cukup berhasil. Jadi? Tanyaku penasaran. "Entah, tapi rasanya aku akan mencoba melakukan yang terbaik jika aku dihadapkan pada suatu masalah. Aku tak mau menyerah sebelum aku mencoba." Kemudian ia menyantap makanan yang ada dihadapanya. Makanan itu datang bersamaan dengan bubur yang telah selesai kulahap tadi. Pasti sudah dingin. Pikirku mengingat hujan telah turun cukup lama dan waktu yang kuhabiskan untuk semangkuk bubur tadi. "Dingin yah?" Ucapnya tiba-tiba.

Waktu berlalu sangat lambat. Mungkin karena faktor cuaca yang mendukung. Ya, hujan masih mengguyur dan kami terjebak disini. Bersama dengan beberapa orang yang nampak tidak peduli. Mereka masih asik mengobrol, entah apa yang mereka bicarakan. Suara hujan ini cukup mengganggu pendengaranku. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatku tak bisa mendengar percakapan orang lain kecuali satu yang sedang semeja denganku. Dan parahnya ia tak bersuara. Hanya pandangannya menatap kosong ke arah jendela. Aku melambaikan tangan tepat di depan wajahnya. Cukup untuk menarik perhatiannya kepadaku. "Apa yang kamu pikirkan?" Ucapku membuka percakapan. "Tidak banyak, aku hanya berpikir pernahkah dirimu mempertanyakan apa tujuanmu selama ini. Kamu tahu? Visi." Hah? Seruku dalam hati. Kenapa mendadak berbicara visi? Kenapa tidak membuka pertanyaan dengan guyonan atau lelucon? Salah satu hal yang kurang kusukai darinya. "Memangnya ada apa? Kamu mau menceritakan visi yang kamu miliki?" Ucapku penasaran. "Tidak, tapi terkadang aku merasa kalau aku tidak bergerak kemana pun. Beberapa kali aku bertanya apa benar ini pantas kulakukan?" Ucapnya, lagi-lagi dengan nada serius. Aneh juga mendengar hal itu dari dirinya, selama ini aku pikir ia berjalan dengan mantap dan tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ternyata tidak juga. "Aku tidak memikirkan visi. Aku menjalani apa yang bisa kujalani sekarang." Ucapku. Suasana menjadi hening kembali. Rasanya tetesan hujan itu bergerak dengan sangat lambat. Kurang dari 5cm per detik. Pikirku dalam hati. Tapi aku menikmati gemercik yang diciptakannya, cukup untuk menulikanku dari percakapan orang disekitar. Hujan turun semakin deras.


"Hujannya lama yah?" Ucapnya memecah fokus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar