Senin, 24 Januari 2011

Desire for Love

Pernah seorang teman berkata bahwa cinta seorang pria didasari oleh nafsu. Tidak ada definisi cinta bagi kaum Adam. Bagi kami, yang ada hanya hasrat seksual yang menggebu-gebu. Yang kami lihat hanya keindahan tubuh wanita-wanita seksi yang setiap hari berjalan di area perkotaan maupun desa. Seperti halnya etalase berjalan, kami mulai melirik dan menelusuri lekuk tubuh yang berjalan di sekitar kami. Seonggok daging yang dikatakan seksi. Itulah yang kami lihat dari wanita, terlepas dari apakah mereka memakai pakaian wajar atau tidak. Kami tidak memiliki mata super seperti Superman atau peralatan canggih layaknya Superhero. Tapi kami mampu menelanjangi mereka hanya dengan menatapnya. Kami diberikan kemampuan untuk melakukan hal itu. Bukankah pria lebih imajinatif dalam hal-hal seperti ini? Tentu tidak ada yang meragukan kemampuan kami dalam hal mengingat jalan, memperhitungkan arah, hingga membuat gambar abstrak. Menelanjangi mereka rasanya bukan hal yang sulit. Lalu, penulis mempertanyakan sisi manusia dari makhluk yang kelak akan membimbing sebuah keluarga ini. Sosok yang akan jadi panutan dan dihormati di dalam sebuah keluarga. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang normal dengan akal sehatnya, tidak menolak ketika dibimbing oleh sosok tak berperasaan yang diliputi nafsu seksual?

Seringkali kami dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang lebih mengandalkan pikiran kami daripada perasaan. Dianggap tidak peka dan sebagainya. Lalu kenapa banyak orang memilih kami sebagai kepala? Bukankah kami adalah makhluk yang tidak mengenal arti kata cinta? Yang bergerak dengan nafsu seksual yang membara. Yang bergerak dengan pikiran tanpa perasaan. Jika itu benar, pernahkah membayangkan berapa banyak anak gadis yang akan diminta melayani keinginan seksual dari pemimpin kelompok. Bukankah lebih masuk akal jika kami menggunakan kelebihan kami dalam bidang rasio untuk menipu para wanita dan menjadikan mereka budak kami? Bukankah lebih masuk akal jika kami mengambil keuntungan tanpa memikirkan orang lain?

Tapi kenyataan berkata lain, tidak semua dari kami melakukan hal itu. Tidak semua pria memandang wanita sebagai etalase berjalan, seonggok daging. Memang harus diakui bahwa kami diliputi oleh nafsu seksual yang menggebu, yang seringkali tak bisa kami kontrol. Rasanya semua pria di dunia seperti itu. Termasuk penulis. Penulis mengakui bahwa kaum Adam nampaknya lebih tertarik terhadap hal-hal seperti itu dibandingkan kaum Hawa. Tapi bukan berarti kami bertindak tanpa rasa bersalah. Bukan berarti kami bangga akan apa yang kami lakukan. Bukan berarti kami senang dengan kemampuan kami untuk menelanjangi wanita. Mungkin ada juga yang senang. Tapi sebagian dari kami merasa bersalah. Kami merasa hal itu tidak layak dan tidak benar. Apa mungkin seorang yang tidak mengenal cinta berpikir hingga sejauh itu? Jika kami tidak mengenal cinta bukankah kami akan mementingkan diri sendiri? Tidak merasa bersalah pada orang lain, yang terpenting adalah kepuasan pribadi.

Penulis berpikir bahwa kaum Adam pastilah memiliki perasaan yang disebut sebagai cinta. Karena cinta sendiri berbeda-beda, tergantung objek cinta itu. Hal ini penulis yakini bukan karena penulis adalah seorang pria dan mencoba mempertahankan diri. Penulis yakin bahwa setiap manusia memiliki perasaan dan nafsu. Perasaan sedih, bahagia, senang, mengantuk, lelah, sayang, cinta dan berbagai perasaan lainnya. Penulis yakin pernah dirasakan semua orang. Kemudian nafsu, bukan nafsu dalam definisi sempit seperti nafsu seksual tetapi nafsu secara umum. Penulis yakin bahwa setiap manusia memiliki nafsu. Nafsu dapat didefinisikan sebagai desire. Keinginan yang dimiliki manusia. Penulis merasa bahwa tidak salah seorang manusia memiliki nafsu, tetapi nafsu itu harus dikontrol. Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki nafsu? Harus diakui setiap manusia memiliki nafsu yang satu ini. Nafsu makan. Hanya saja nafsu memiliki pandangan yang lebih negatif dibandingkan dengan keinginan.



Karena aku juga manusia, aku memiliki keinginan. Dan keinginanku adalah untuk dicintai. (Heri, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar