Minggu, 30 Januari 2011

Nilai seorang mahasiswa

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman meributkan masalah dua digit. Hari ini giliran saya yang bingung karena masalah IP. Minggu lalu, saya berhadapan dengan seorang dosen pengampu Psikologi Lintas Budaya. Kebetulan teman saya yang mengolah data tersebut. Saya ikut menyaksikan bagaimana nilai-nilai Ujian Akhir Semester (UAS) diolah. Di sana saya mendapati nilai C. Bukan nilai yang asing bagi saya. Saya memang bukan orang yang pintar dan sudah beberapa nilai C bertengger di Kartu Hasil Studi (KHS) saya. Teman saya ini menyarankan agar saya memberikan nilai peer rating yang memungkinkan saya untuk mengubah nilai. Awalnya saya berpikir untuk mengubah karena iri dengan teman-teman lain yang memiliki nilai di atas saya. Tapi saya merasa bahwa nilai itu memang pantas untuk saya. Mari perhatikan, saya tidak belajar untuk presentasi dan tidak menuliskan secara jelas jawaban dalam kuis. Pantaskah saya untuk protes? Rasanya tidak.

Kemudian dua orang teman berkata kepada saya untuk mengubah nilai tersebut. Mereka berkata bahwa teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama. Disini saya cukup kaget mendengar yang dikatakan teman saya itu. Jadi, nilai yang terpampang di layar laptop, yang saya pandangi saat ini adalah palsu? Hasil pengangkatan oleh penilaian teman. Kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, kenapa banyak orang yang memandang nilai ini begitu penting? Apa iya mereka tidak bisa hidup kalau ada cacat dalam nilai? Mendapat nilai B/C atau C rasanya bukan akhir dunia. Ok, mungkin saya bisa berkata begini karena sudah ada nilai C yang bertengger di KHS saya. Akhirnya saya memutuskan untuk menemui dosen pengampu Psikologi Lintas Budaya tersebut keesokan harinya.

Singkat cerita, saya berhasil mengubah nilai saya dengan menggunakan peer rating yang saya terima dari empat orang teman saya. Mereka memberi nilai rata-rata yang hampir sama. B. Untuk attractiveness (padahal saya tidak membawa apa pun untuk presentasi) dan untuk penguasaan materi. Dalam hati saya berpikir, mungkin sepantasnya saya protes dan bilang ke dosen tersebut untuk mengubah nilai menjadi D. Kemudian dua teman saya yang mengolah nilai tersebut datang ke kampus untuk mengubah nilai C saya. Kalau tidak salah ingat, porsi nilai yang saya dapat dari attractiveness dan penguasaan materi adalah 80% jika ditotal. Dengan kata lain, jika saya mendapat nilai B, maka saya akan mendapat nilai B juga untuk dipajang di KHS. Kemudian saya juga ingat dengan jelas bahwa nilai saya berubah menjadi B. Nyatanya tidak.

Beberapa hari lewat semenjak perubahan nilai itu. Saya kemudian melihat nilai saya dipampang pada situs resmi fakultas. Dengan rasa penasaran yang pasti dialami oleh semua mahasiswa. Nilai apa saja yang sudah muncul? Disitu saya melihat hanya ada satu nilai. Psikologi Lintas Budaya. Aneh, nilai yang tercetak di sana A/B. Sebagai mahasiswa tentu saya merasa kaget dengan nilai yang muncul ini. Saat itu saya sudah yakin mendapat B.

Saya merasa hal ini tidak benar dan ingin mempertanyakan langsung kepada dosen. Bagaimana mungkin? Saya yang seharusnya mendapat nilai D untuk mata kuliah ini mendadak dijejali dengan nilai A/B. Bertengger sendirian di sana. Nampak sekali kalau ia sedang menantang nilai lain yang belum memunculkan diri. Di tengah kekagetan saya, ada bisikkan yang masuk.
"Sudah tidak perlu diurus lagi, dosen itu pasti lelah dengan masalah nilai yang diperkarakan 1 minggu ini. Lagipula, apa tidak kasihan dengan temanmu yang sudah mengolah data? Mereka sampai kehujanan loh. Lagipula nilaimu bagus loh, sudah tinggi. Kenapa ingin diturunkan?"

Sesaat saya berpikir, mungkin benar. Sebaiknya tidak usah diusut lagi. Terlalu banyak perhatian yang tersita. Terlalu melelahkan harus berurusan dengan angka biner yang menjadi penghubung hidup dan mati beberapa mahasiswa. Di sisi yang lain, saya merasa ini tidak adil. Kenapa mahasiswa seperti saya bisa mendapatkan nilai A/B? Padahal saya tidak berusaha sejauh itu. Saya tidak memberikan yang terbaik sewaktu presentasi. Jadi, saya putuskan untuk menanyakan langsung kepada dosen. Kalau bisa mengubah A/B menjadi B. Saya cukup puas dengan nilai itu. Tidak perlu lebih tinggi.

Belum lama setelah saya mantapkan pilihan. Bisikkan lain mengikuti.
"Kenapa tidak bersyukur? Banyak orang yang menginginkan nilai tinggi itu dan sekarang kamu mencampakkannya begitu saja? Bukankah nilai A/B itu akan membahagiakan orang tuamu? Bukankah kamu ingin orang tuamu bahagia?Ayolah, kapan lagi kamu bisa mendapat nilai A/B?"

Saya kembali terhenyak. Benar. Selama ini nilai saya tidak memuaskan. Benar. Saya ingin membahagiakan orang tua. Ya, saya mengakui sebagai manusia. Sebagai seorang mahasiswa. Saya membutuhkan nilai A/B itu. Saya menyadari itu sebagai kebutuhan. Agar dapat mendapatkan pekerjaan layak. Agar mendongkrak nilai. Agar bisa membahagiakan orang tua. Tapi bukan dengan cara itu. Bukan dengan mengelabui semua orang termasuk diri sendiri. Membanggakan diri dengan nilai tinggi tanpa kerja keras rasanya tak pantas. Ya, aku membutuhkan nilai itu. Tapi dengan kemampuanku sendiri. Setiap kali melihat teman-teman yang berusaha keras atau mendapat nilai baik seringkali terlintas,"Kenapa saya tidak berjuang lebih keras?"

Kemudian saya mengangkat kepala. Menyadari bahwa diri saya pun menginginkan nilai. Saya sombong dan angkuh. Tapi, sudah saya bulatkan tekad untuk mengubah nilai saya ke nilai seharusnya. B. Walau pasti akan sulit menemui dosen dan mengubah nilai tersebut. Seoran pernah berkata,"Lakukanlah apa yang menurut kamu benar. Mungkin tidak ada alasan logis atau hal itu dianggap tidak wajar oleh orang lain. Tetapi itu berarti jujur kepada diri sendiri."

Saat ini saya masih kebingungan dengan langkah yang akan saya ambil. Mengubah atau tidak. Saya tidak seratus persen yakin bahwa hal ini baik untuk dilakukan. Tapi saya juga tidak bisa diam melihat nilai saya yang tidak pantas itu.

One does not become enlightened by imagining figures of light, but by making the darkness conscious.
-Carl. G. Jung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar