Sabtu, 04 Desember 2010

Itadakimasu!!

"Irasaimase!" Suara mereka terdengar begitu langkah pertamaku tiba didepan toko ini. Sebuah toko kecil di dekat Mirota kampus. Perlahan aku ambil kursi coklat yang sedang lengang di sebelah Utara. Aku terduduk menanti sang pramusaji datang membawa menu. Toko ini bernuansa Jepang, dengan berbagai hal berbau Jepang yang dilempar ke tiap sisi dipetak kecil ini. Mulai dari topeng, peralatan cos-play, lukisan, hingga pedang kayu. Aku masih asyik dengan lukisan sewaktu sang pramusaji tiba, membawa selembar daftar menu, handuk kecil, ballpoint, dan tidak lupa senyuman.

Aku pindahkan keasyikanku kepada mainan baru itu. Menu. Apa yang akan kamu pesan? Bisikku dalam keheningan. Sang Pramusaji meninggalkan diriku diam beberapa saat, masuk ke dunia aneh yang muncul diambang kebingungan. Jadi pesan apa? Tanyaku sekali lagi. Ada lima digit angka ditiap menu makanannya dan empat digit angka mengambang di bagian minuman. Jadi? Tanyaku sekali lagi dengan nada menunggu. Kulirik lagi menu makanan yang diisi oleh bilangan biner layaknya kode-kode yang pernah kulihat dalam film-film.

Tatapanku menganalisa setiap makanan dan deskripsinya. Seperti seorang polisi yang menginterogasi kuperhatikan hal-hal kecil mulai dari harga hingga komposisi. Satu per satu mulai kutelisik tanpa terlewat satu pun. Hoi mau pesan apa?! Teriakan itu mengagetkanku, teriakkanku sendiri. Sabarlah sedikit, aku harus memastikan masih bisa hidup besok, lusa atau tiga hari lagi. Ucapku mencoba menenangkan.

Sial! Makanan ini terlalu mahal untuk diriku saat ini. Tetapi terlalu menggoda untuk ditinggalkan ! Aku tak bisa memilih juga tak bisa meninggalkan begitu saja apa lagi setelah momen pramusaji tadi. Mataku mulai mencari ke deretan makanan termurah yang ada pada daftar menu. Satu menit. Dua menit. Sial! Berkali dilihat hasilnya sama saja, hanya ada bilangan biner yang berderet sebanyak lima kolom.

Akhirnya, aku menemukan satu menu yang nampak tidak terlalu mahal. Onigiri. Nasi yang dibalut dengan nori (rumput laut) diberi garam. Hmmm... mungkin ini bisa jadi alternatif, kalau dilihat pasti harganya murah dibandingkan teman-teman "genk" lainnya. Kemudian kutatap harganya... MAHAL.

OK, cukup dengan memilih makanan berdasarkan harga. Kalau tidak dapat menemukan yang "murah" dari menu makanan mahal sebaiknya sekalian saja cari yang kelihatan enak. Pikirku dalam hati. NICE CHOICE. Sejenak aku terdiam, tidak menyadari bahwa aku sama sekali tidak mengetahui jenis makanan apa yang disajikan. Walau ditulis dengan deskripsi bahasa Indonesia tetapi nama makanan ditulis menggunakan nama Jepang alhasil yang saya ketahui hanya onigiri dan ramen karena sering muncul di film-film Jepang. Selamat Anda telah masuk ke sebuah tempat yang seharusnya tidak anda masuki sejak awal! Ledekku begitu menyadari kebodohan sendiri.

Mataku kembali mencari. Sesuatu untuk dimakan. Sesuatu yang masih bisa aku cerna dan tidak menjebol kantung baju atau saku celanaku. Aku mencari dengan memerhatikan bentuk dari makanan tersebut. Mungkin saja ada yang aku kenal. Bisikku menenangkan diri. Dan akhirnya kutemukan dirinya melirik manis ke arahku. Aku bisa kamu makan loh. Ucap makanan yang tergambar disana. Nasi Goreng. Pertama kelabakan lihat harga, kedua bingung karena masalah nama, sekarang datang ke tempat mahal cuma untuk menyantap nasi goreng. NICE.

Nasi goreng ini masih menggunakan kode biner, setidaknya aku tahu itu apa. Dan paling tidak aku bisa makan! Waktunya beranjak ke menu pelepas dahaga. Mataku melirik, mencari tahu apakah nama minuman ini juga tidak manusiawi untuk makhluk pribumi sepertiku. Fuh... Syukurlah bahasa Inggris! Ok, ada beberapa dengan nama Jepang. Minuman standar pun ada (baca: es teh dan es jeruk). Karena makanan sudah menggunakan lima digit dan kode biner aku putuskan untuk mencari minuman yang tidak membuat kepala botak atau mengubah saya menjadi Einstein. Aku melirik dari yang (lagi-lagi) kukira paling murah. Es Teh. Dan dugaan saya meleset lagi, ternyata saya tidak boleh meremehkan tempat ini. Walau ukuran toko ini kecil dan nampak simple tapi melihat harga es teh yang setara dua bungkus nasi kucing plus gorengan. Rasanya mengerikan.

Sudah, kalau tidak ada yang murah, cari yang mahal dan enak! Bisikan itu datang lagi. Tapi kali ini aku ragu. Jika aku mengikuti perkataan itu apa aku masih hidup 2-3 hari ke depan? Apa saya tidak akan berakhir diangkringan dengan nasi kucing dan teh hangat yang selalu dapat diandalkan itu? Rasanya seperti ditendang dari pintu surga dan langsung masuk ke neraka. Ok, mungkin surga yang satu ini tidak cocok untuk setan seperti saya. Jadi saya putuskan untuk memilih. Saat yang menentukan telah tiba. Lagi-lagi sebuah suara memanggil. Kali ini dari sebuah coklat hangat yang melambai-lambai agar dapat tertangkap oleh mataku. Hmm... Coklat panas untuk menemani nasi goreng? Aneh.

"Memang kamu punya pilihan lain?"
"Jus mungkin?"
"Ya, benar dan kamu akan melewatkan kesempatan menikmati surga."
"Kalau begitu bagaimana kalau es teh?"
"Kamu bisa meminumnya di neraka nanti."

Ok, saya kalah. Bring that chocolate here! Dengan berat hati saya mulai menarikan ballpoint. Detik yang berlalu terasa begitu lambat. Rasanya tidak rela harus menggerakkan ballpoint itu. Seluruh jiwaku masih memberi perlawanan untuk menghentikan gerakan bunuh diri yang dilakukan oleh tangan kananku. Tapi semuanya tidak berhasil. Ya, roh memang kuat dalam hal-hal seperti pendirian tapi daging saya yang tidak kuat menahan godaan memiliki tenaga yang lebih besar. Apa saya sedang berada pada scene terakhir sinetron sehingga saya bergerak dengan slow motion? Rasanya tidak. Pertama saya bukan artis dan yang terpenting disini tidak ada kamera atau script yang saya baca.

Aku panggil sang pramusaji yang sedang bercanda dengan dua kawannya dibalik kasir. Sudah. Ucapku mencoba mengalihkan perhatian. Ya, aku sudah siap untuk dihukum mati dan inilah pesan terakhirku. Pikirku seraya memberikan daftar pesanan. Pramusaji itu membacakannya, mengulangi dying message yang kutulis sendiri. Dia membacakan bagaimana aku akan berakhir! Setelah memastikan apakah aku siap menelan racun yang resepnya kutulis sendiri, sang algojo kembali ke ruangannya. Menyiapkan racun yang siap membunuhku 2-3 hari ke depan. Aku perhatikan dirinya yang berjalan dengan baju kebesarannya. Baju pramusaji ala Jepang.

1 komentar:

  1. Yup, beginilah akibat iseng masuk ke restoran Jepang di kampus.
    Curiosity kill the cat, huh? Oh wait, in this case.... curiosity kill the devil

    BalasHapus