Rabu, 15 Desember 2010

Kangen

"Bagaimana rasanya merindukan seseorang?" Celetuk diriku saat berjalan disalah satu ruas kota Yogyakarta. Pikiran ini terus kubawa hingga ruang kelas. Saat itu salah seorang temanku sedang pergi ke luar kota dimana tidak ada sinyal yang mampu menjangkaunya. Kemudian salah seorang dari antara temanku yang lain bertanya apakah aku mengetahui kemana dia pergi. "ke gua mungkin? Bertapa." Jawabku sekenanya. Kemudian ia lanjut bertanya,"kamu nggak kangen?"

"kangen?" Sedetik kemudian otakku mulai melakukan proses kolaborasi antara kognisi dan afeksi.

"Hmmm... Itu bahasa apa ya? Dalam kamus yang aku punya tidak ada yang namanya kangen." Afeksiku menjawab dengan tenang.
"Aku juga tidak tahu itu makhluk apa." Jawab kognisi.

Pernah merindukan seseorang? Tanya kursi coklat yang masih "jomblo" di sebelahku. Kemudian si kognisi mulai menderetkan nama-nama orang yang aku kenal dan bertanya pada afeksi apakah ia pernah menjadi orang yang benar-benar ingin aku temui. Afeksi menggelengkan kepalanya. Kognisi kembali mengurutkan orang yang aku kenal. Kali ini dengan form yang lebih lengkap. Wajah, nama, pertama kali bertemu, hingga kesan yang ditimbulkan. Tetapi lagi-lagi afeksi menggeleng.

Bagaimana dengan orangtua? Lontar layar LCD yang menatapku lekat. Ayolah dirimu sudah 5 semester berada di Yogyakarta dan jarang sekali dirimu pulang kerumah iya kan? Selidik LCD itu mencoba menelisik lebih dalam. Dirimu tidak memiliki kerabat di Yogyakarta. Apa kamu tidak iri dengan teman-teman yang bisa bertemu orangtuanya setiap hari? Tidak. Jawab afeksi (tentu saja) tanpa berpikir.

Afeksi kemudian bertanya pada LCD. Perasaan seperti apakah "kangen" itu? Jangan-jangan perasaan itu tidak ter-install baik sehingga afeksi tidak dapat mencari datanya. Atau jangan-jangan file tersebut corrupted atau mungkin ter-uninstall secara tidak sengaja? Mana aku tahu! Balas LCD. Aku tak pernah merasa seperti itu. Bahkan aku tak memiliki perasaan!

Kognisi mengambil alih. Ingatkah kamu ketika temanmu berkata ia perlu me-refill cairan rindunya pada orangtua sehingga ia pulang? Atau ketika senpai berkata ia rindu dengan suasana rumahnya. Oh iya benar saat itu ya? Lalu kenapa? Aku balik bertanya. Sepertinya itu yang namanya kangen. Ketika dirimu tidak bisa bertemu dengan orang-orang yang kamu sayangi. Hal-hal yang membuat dirimu nyaman. menghantui dirimu untuk menemukannya lagi. Mungkin itu yang namanya kangen.

Lalu, kenapa perasaan itu muncul? Tanyaku heran. Karena dirimu tidak lagi berada disuasana tersebut. Dirimu yang telah terbiasa dengan situasi yang ada. Ketika kamu kehilangan situasi itu kamu berpikir ada sesuatu yang hilang dan kamu ingin itu kembali. Seperti kehilangan salah satu anggota tubuhmu.

Pikiranku membawaku kembali ke masa lalu. Ketika itu aku masih semester awal kuliah. Ketika teman-teman pulang untuk libur minggu tenang. Aku menemukan diriku seperti alien yang menemukan planet hunian baru. Aku tak terpikir untuk pulang. Beberapa teman bahkan kakak angkatan bertanya,"Kamu nggak mudik?" Dan dengan cepat aku balas," liburnya pendek dan aku tak merasa ingin pulang."

Aneh. Itulah komentar pertama yang keluar dari mulut tiap orang ketika aku mengambil keputusan ini. Mereka berpikir memangnya apa yang akan aku lakukan diYogyakarta? Untuk apa bertahan disana? Tapi aku memiliki penilaianku sendiri. Kenapa aku harus pulang? Bukankah tidak ada peraturan yang baku bahwa seorang mahasiswa harus pulang. Bukankah akan memakan biaya ketika aku pulang? Aku merasa tetap di Yogyakarta adalah pilihan yang tepat. Bukan karena masalah keluarga atau apa. Tetapi lebih kepada diriku yang tak merasa bergantung pada siapa pun termasuk keluargaku. Apakah aku perlu meng-install program kangen?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar