Kamis, 30 April 2009

Wanita



Wanita. Sosok penyayang, penolong dan lemah lembut di mata manusia. Namun, adakah ia ditempatkan di tempat yang layak? Atau masihkah ia dianggap sebagai penghias atau pemanis? Wanita di mata manusia, penuh dengan standar-standar yang diciptakan oleh media dan budaya. Adakah wanita bicara? Kapan ia mampu berteriak dengan lantang? Kapan ia mampu melepaskan diri dari bayangan sosok “laki-laki”?

Masyarakat bilang tentang persamaan hak wanita, emansipasi, tapi tetap “terjajah” oleh media dan budaya. Bahkan dalam sejarah pun dapat dihitung dengan jari nama pejuang wanita yang ada di Indonesia. Wanita tidak menyadarinya, mereka tidak mempertanyakan, yang wanita tahu hanya “penglihatan” orang lain terhadap dirinya. Wanita telah lama dijajah oleh budaya yang menyatakan wanita tidak mampu disetarakan dengan pria, bahwa wanita tidak mampu melepaskan diri dari keharusan yang ada. Hanya karena dirinya berlabel wanita, sehingga dirinya dikekang dengan aturan. Wanita tidak mampu melepaskan diri dari doktrin tentang ”wanita ideal” yang dihembuskan oleh media lewat iklan.

Emansipasi wanita. Label yang diturunkan oleh masyarakat untuk menyamakan hak wanita dengan pria. Namun, apakah wanita mengenal kata “persamaan hak” itu? Berbagai cara telah ditempuh, tidak sedikit orang yang menganggap emansipasi adalah persamaan dalam karir dan menjadi wanita karir. Namun, sebenarnya emansipasi memiliki nilai lebih dari itu. Emansipasi wanita bukanlah berarti melakukan pekerjaan pria, emansipasi merupakan persamaan hak. Hak untuk berbicara dan hak untuk didengar, yang wanita butuhkan adalah didengarkan. Adakah kita semua mengerti akan hal tersebut?

Persamaan membicarakan isi hati dan ide pokok pikiran, dalam hal ini sering kali seorang wanita direndahkan dan dianggap tidak memiliki wawasan yang cukup untuk berbicara. Emansipasi bukan berarti wanita maskulin, wanita tetap mampu feminis karena emansipasi adalah persamaan hak bukan persamaan kerja. Di dalam masyarakat sendiri ada beberapa wanita yang masih menganggap bahwa dirinya tidak pantas berbicara tentang emansipasi, masih menganggap bahwa dirinya tidak dapat disejajarkan dengan pria. Lalu, kita semua mulai berpikir, apa artinya semua gembar-gembor tentang emansipasi jika masih ada wanita yang merasa seperti itu?

Diskriminasi wanita tidak berhenti hanya pada kurangnya perhatian bagi suara mereka, tetapi dalam kancah politik telah dibuat kotak khusus berlabel ”emansipasi” yang dapat terlihat dengan adanya peraturan yang mewajibkan minimal 30% anggota partai politik haruslah wanita, justru terasa seperti eksklusivitas, seolah hanya topeng dengan tambahan ”hak khusus”. Secara tidak langsung wanita didiskriminasikan dengan ”hak khusus” yang diberikan pada mereka, seolah tanpa hak khusus tersebut mereka tidak mampu menyelamatkan diri dari dominasi pria. Namun, beberapa wanita merasa bahwa dengan hak khusus tersebut mereka dicap sebagai kelompok yang tidak berdaya. Dan ada pula kenyataan bahwa sebenarnya tidak semua wanita ingin menjadi wanita karir tetapi semua wanita ingin berbicara dan ingin didengarkan.

Janganlah berpikir bahwa seorang wanita tidaklah berdaya, wanita mampu melakukan emansipasi yang bersifat ekstrem seperti misalnya mengangkat rahim mereka, yang di Jepang dianggap suatu masalah karena cuti hamil dapat mencapai 5 tahun, hal itu dilakukan agar mereka diakui sama dengan pria, sehingga tidak ada hambatan untuk mereka menjadi wanita karir yang sukses dan terlepas dari alasan kemungkinan cuti hamil yang dianggap menyusahkan bagi perusahaan.

Seorang wanita seringkali dianggap sebagai bunga. Cantik dipandang, begitu indah namun segera dibuang ketika mulai melayu, rapuh dan menua. Memang seperti bunga, tidak bergerak cukup dengan diam dan merias diri untuk dianggap menarik, berbeda dengan pria yang sering dianggap sebagai lebah yang mencari wanita saat masih cantik dan belum disentuh oleh lebah lain. Inilah kebudayaan yang mengikat tentang wanita yang tidak pantas mengejar pria, tentang wanita yang harus menunggu untuk dihampiri.

Walaupun demikian, wanita juga menyadari bahwa wanita dan pria saling membutuhkan dan harus saling mendukung. Terkadang mereka merasa bahwa pria menanggap pekerjaan rumah tangga yang dilakukan merupakan pekerjaan ringan. Wanita, selalu dianggap sebagai sosok lemah dan perlu dilindungi dan semua hal yang dilakukan wanita pasti pria dapat melakukannya juga. Persamaan wanita adalah saat dimana wanita berani bicara, berteriak dengan lantang atas diskriminasi yang dialami dan ketidakadilan yang dirasakannya.

Inilah saat dimana wanita mengukir garis sejarah bersama dengan pria, bukan hanya mendukung mereka dari belakang tapi bergerak bersama menyuarakan apa yang dilihatnya dari posisi yang diambil. Saatnya membiarkan wanita menunjukkan arah yang mereka pilih bersama dengan pria, bersama dengan persamaan hak yang murni bukan pemaksaan dan bukan ”eksklusivitas” dengan berbagai badan yang memisahkan diri dengan tambahan kata wanita, perempuan, dan semacamnya. Dan biarlah wanita menentukan yang baik bagi mereka dengar hak berbicara dan hak didengarkan yang wanita miliki saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar